Hidup dalam lingkungan
yang beragam agama memang membutuhkan sedikit kepekaan untuk mengerti,
merasakan, dan ikut ambil bagian dalam aktivitas keagamaan orang lain. Hal ini
menunjukkan bahwa kita adalah makluk sosial yang berakhlak. Tentunya bahwa
manusia adalah ciptaan yang lebih dari ciptaan lainnya. Manusia diberi akal
budi untuk berpikir apa yang baik dan buruk. Tapi tidak semua manusia
menggunakan pikiran untuk hal – hal yang baik karena pilihan itu selalu ada.
Yang baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain dan sebaliknya.
Indonesia akhir – akhir
ini dilanda krisis toleransi. Banyak media – media baik media massa elektronik
maupun cetak hangat membicarakan toleransi. Bahkan di acara – acara seminar,
atau diskusi – diskusi banyak mengangkat tema tentang toleransi. Toleransi itu
sendiri sudah lama dan sudah melekat dalam darah orang Indonesia tapi mengapa
baru sekarang diangkat lagi, seolah – olah itu hal baru yang harus diterapkan
dalam kemajemukan Indonesia. Sebenarnya, apa itu toleransi? Apakah kita salah
menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari atau apakah ‘Toleransi’ itu seperti
Undang – Undang yang harus direvisi sewaktu – waktu?
Terkait hal tersebut,
saya ingin bercerita sedikit tentang bertoleransi menurut versi saya. Versi
bertoleransi saya sangat sederhana. Saya adalah seorang mahasiswa di Yogyakarta
sekaligus sebagai anak kos – kosan. Tinggal dalam kos – kosan dimana kami
berjumlah delapan anak kos yang mempunyai tiga agama yang berbeda. Saya
beragama Kristen Katolik, Tri dan Jemsy beragama Kristen Protestan, Bambang,
Toni, Chandra, Nanang, dan Risky beragama Islam. Kehidupan bertoleransi kami
sangat tinggi walau sederhana. Hal ini terbukti lewat kami bertegur sapa,
terkadang masak dan makan bersama, bermain bahkan nonton bola bersama – sama
tanpa adanya sekat atau pemisah yang bernama agama diantara kami.
Lain lagi cara saya
sendiri berteman terutama dengan teman - teman muslim di kos. Saya sering
mengucapkan “Assalamu’alaikum” jika pergi dan pulang dari manapun karena saya
tahu bahwa arti dari kalimat itu baik. Dan merekapun menjawab “Wa’alaikum
Salam”. Juga kepada keluarga bapak kos, saya tidak segan – segan mengucapkan
hal yang sama bila bertamu ataupun sekadar meminjam sesuatu. Bila saat azan
berkumandang, saya akan menghentikan aktivitas saya sebentar, misalnya menulis,
menonton, mendengar musik atau apapun itu karena saya juga harus berdoa
‘Angelus’. Selanjutnya saya mengingatkan mereka apakah sudah shalat atau belum.
Sejujurnya, jika azan berkumandang bukan sikap toleransi saya yang pertama
terhadap mereka, tapi hal pertama saya berpikir bahwa itu adalah doa dan pujian
kepada Allah dan harus menghormati – Nya. Dan sikap toleransi kepada mereka itu
adalah hal kedua. Bila hari jumat tiba, saya akan mengingatkan mereka untuk
pergi Jumatan. Sebaliknya bila hari minggu tiba, mereka juga mengingatkan saya
untuk pergi misa mingguan. Jika saya minta salah satu dari mereka yang ada di
kos untuk mengantar saya ke gereja, mereka tidak segan – segan melakukan itu.
Satu lagi yang hampir saya lupa, yaitu mengenai puasa. Jika bulan puasa
tiba, teman – teman muslim akan berpuasa. Yang mengasyikkan adalah mereka tetap
memperbolehkan saya makan di dekat mereka walaupun menurut saya itu pasti
mengganggu puasa mereka. Tapi mereka bilang bahwa puasa itu saatnya melawan
godaan bukan menghilangkan godaan tersebut. Apakah makanan saya adalah cobaan?
Jawabnya ya. Lalu apakah saya mencobai mereka? Tidak! Saya merasa bahwa inilah
wujud dari toleransi yang tidak mencederai keimanan saya dan teman – teman beda
agama. Kadang saya dengan Risky sering berbagi cerita tentang kitab suci masing
– masing karena kami sepakat bahwa agama itu untuk disharingkan bukan untuk
didebatkan.
Inilah cara - cara saya menyikapi perbedaan dan saya sangat menikmatinya
dengan senang hati. Semoga menginspirasi.