Saturday 2 September 2017

TOLERANSI DIMATA SAYA

Hidup dalam lingkungan yang beragam agama memang membutuhkan sedikit kepekaan untuk mengerti, merasakan, dan ikut ambil bagian dalam aktivitas keagamaan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa kita adalah makluk sosial yang berakhlak. Tentunya bahwa manusia adalah ciptaan yang lebih dari ciptaan lainnya. Manusia diberi akal budi untuk berpikir apa yang baik dan buruk. Tapi tidak semua manusia menggunakan pikiran untuk hal – hal yang baik karena pilihan itu selalu ada. Yang baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain dan sebaliknya.

Indonesia akhir – akhir ini dilanda krisis toleransi. Banyak media – media baik media massa elektronik maupun cetak hangat membicarakan toleransi. Bahkan di acara – acara seminar, atau diskusi – diskusi banyak mengangkat tema tentang toleransi. Toleransi itu sendiri sudah lama dan sudah melekat dalam darah orang Indonesia tapi mengapa baru sekarang diangkat lagi, seolah – olah itu hal baru yang harus diterapkan dalam kemajemukan Indonesia. Sebenarnya, apa itu toleransi? Apakah kita salah menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari atau apakah ‘Toleransi’ itu seperti Undang – Undang yang harus direvisi sewaktu – waktu?

Terkait hal tersebut, saya ingin bercerita sedikit tentang bertoleransi menurut versi saya. Versi bertoleransi saya sangat sederhana. Saya adalah seorang mahasiswa di Yogyakarta sekaligus sebagai anak kos – kosan. Tinggal dalam kos – kosan dimana kami berjumlah delapan anak kos yang mempunyai tiga agama yang berbeda. Saya beragama Kristen Katolik, Tri dan Jemsy beragama Kristen Protestan, Bambang, Toni, Chandra, Nanang, dan Risky beragama Islam. Kehidupan bertoleransi kami sangat tinggi walau sederhana. Hal ini terbukti lewat kami bertegur sapa, terkadang masak dan makan bersama, bermain bahkan nonton bola bersama – sama tanpa adanya sekat atau pemisah yang bernama agama diantara kami.

Lain lagi cara saya sendiri berteman terutama dengan teman - teman muslim di kos. Saya sering mengucapkan “Assalamu’alaikum” jika pergi dan pulang dari manapun karena saya tahu bahwa arti dari kalimat itu baik. Dan merekapun menjawab “Wa’alaikum Salam”. Juga kepada keluarga bapak kos, saya tidak segan – segan mengucapkan hal yang sama bila bertamu ataupun sekadar meminjam sesuatu. Bila saat azan berkumandang, saya akan menghentikan aktivitas saya sebentar, misalnya menulis, menonton, mendengar musik atau apapun itu karena saya juga harus berdoa ‘Angelus’. Selanjutnya saya mengingatkan mereka apakah sudah shalat atau belum. Sejujurnya, jika azan berkumandang bukan sikap toleransi saya yang pertama terhadap mereka, tapi hal pertama saya berpikir bahwa itu adalah doa dan pujian kepada Allah dan harus menghormati – Nya. Dan sikap toleransi kepada mereka itu adalah hal kedua. Bila hari jumat tiba, saya akan mengingatkan mereka untuk pergi Jumatan. Sebaliknya bila hari minggu tiba, mereka juga mengingatkan saya untuk pergi misa mingguan. Jika saya minta salah satu dari mereka yang ada di kos untuk mengantar saya ke gereja, mereka tidak segan – segan melakukan itu.

Satu lagi yang hampir saya lupa, yaitu mengenai puasa. Jika bulan puasa tiba, teman – teman muslim akan berpuasa. Yang mengasyikkan adalah mereka tetap memperbolehkan saya makan di dekat mereka walaupun menurut saya itu pasti mengganggu puasa mereka. Tapi mereka bilang bahwa puasa itu saatnya melawan godaan bukan menghilangkan godaan tersebut. Apakah makanan saya adalah cobaan? Jawabnya ya. Lalu apakah saya mencobai mereka? Tidak! Saya merasa bahwa inilah wujud dari toleransi yang tidak mencederai keimanan saya dan teman – teman beda agama. Kadang saya dengan Risky sering berbagi cerita tentang kitab suci masing – masing karena kami sepakat bahwa agama itu untuk disharingkan bukan untuk didebatkan.


Inilah cara - cara  saya menyikapi perbedaan dan saya sangat menikmatinya dengan senang hati. Semoga menginspirasi.