Tuesday 17 June 2014

Monday 16 June 2014

Makalah Ketamansiswaan


TUGAS KETAMANSISWAAN II
“SEPULUH SENDI-SENDI AJARAN KI HAJAR DEWANTARA DAN APLIKASINYA DALAM MASYARAKAT”








DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK VIII
1.    PETRUS BASA ODUNG      ( 10 002 233 )
2.    SIPRIANUS NDAWA LU    ( 11 002 021 )
3.    SALEMAN HARTOYO        ( 2012 002 175 )
4.    MONICA P. MEGA M          (28 002 128 )
5.    ANITO GUSMAO LOPES     (2012 002 177)
6.    YUYUN ANGGREINI K      ( 2013 002 106)
7.    ANGELIQ LINDA BILI       (2013 002 105)
8.    NOVI WIDYOWATI             (2013 002 139)
9.    CLOUDIA ARTANINDA     (2013 002 130)
10. NURUL FITRI                       (2013 002 128)


ENGLISH DEPARTEMEN
SARJANAWIYATA TAMANSISWA UNIVERSITY
JOGJAKARTA

2014



       LATAR BELAKANG

Taman Siswa adalah sekolah yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 3 Juli tahun 1922 di Yogyakarta (Taman berarti tempat bermain dan tempat belajar, Siswa mempunyai arti murid). Pada waktu pertama kali didirikan, sekolah ini diberi nama “National Onderwijs Institut Taman Siswa”, dan direalisasikan bersama-sama dengan teman-teman beliau di paguyuban Sloso Kliwonan.
Taman Siswa ini berpusat di Ibu Pawiyatan (Majelis Luhur) di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, dan mempunyai sekolah cabang di banyak kota (129 cabang) di seluruh Indonesia sampai sekarang. Prinsip dasar dalam pendidikan Taman Siswa yang sudah tidak asing di telinga kita adalah:
1. Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan kita memberi contoh)
2. Ing Madya Mangun Karso (di tengah membangun prakarsa dan bekerja sama)
3. Tut Wuri Handayani (di belakang memberi daya-semangat dan dorongan).
4. Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Ketiga prinsip pendidikan ini sampai sekarang masih terus menjadi panduan dan pedoman dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Keanekaragaman masyarakat Indonesia sangat luas saat ini, hal ini meliputi dari segi cara dan gaya hidup, cara berpikir, prinsip dan dari segi kehidupan yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini tidak seharusnya menghambat agar kita sebagai masyarakat serta generasi penerus bangsa Indonesia ini saling mendukung antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu perbedaan yang telah ada, dapat kita satukan dengan kita hidup sebagai masyarakat yang saling melengkapi dengan berbagai macam ajaran yang dapat saling menyatukan kita sebagai bangsa Indonesia yang utuh. Hal ini dapat mendukung masyarakat untuk saling membangun antara satu dengan yang lain. Maka dengan ini akan tercipta masyarakat yang mempunyai tujuan yang sama demi membangun kehidupan yang adil, damai, makmur dan sejahtera.
Banyak pelajaran serta pengetahuan yang terdapat dalam ajaran Ki Hadjar Dewantara, diantaranya adalah berupa “ fatwa akan sendi hidup merdeka”. Pengertian fatwa itu sendiri dapat dilihat dari segi etimologi berasal dari kata al fatwa wal futyaa (fatawaa) yang berarti petuah, nasehat jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan di bahas  “Sepuluh Sendi-sendi Ajaran Ki Hadjar Dewantara dan Aplikasinya Dalam  Masyarakat.
       AJARAN HIDUP DAN CITA-CITA KI HADJAR DEWANTARA
Tamansiswa adalah wadah dan wujud ajaran hidup Ki Hadjar Dewantara yang berupa azas, sendi organisasi, sistem pendidikan dan cara-cara kebiasaan hidup sebagai syarat pelaksanaan dan cita-cita kehidupan Tamansiswa.
Ajaran hidup Ki Hadjar Dewantara yang dituangkan sebagai ajaran “Ketamansiswaan” tidak hanya berlaku untuk penyelenggaraan pendidikan formal tetapi dimaksudkan untuk mengatur kehidupan manusia baik dalam keluarga, masyarakat dan bernegara.

      FATWA UNTUK HIDUP MERDEKA
Untuk peneguh keyakinan perjuangan kita, Ki Hadjar Dewantara memberikan kita bundelan dari beberapa ajarannya, yang disebut  Ki Hadjar sebagai “ fatwa akan sendi hidup merdeka”.
Untuk dingat-ingat,direnungkan dan diamalkan:
1.      “ Lawan Sastra Ngesti Mulya”
Dengan pengetahuan kita menuju kemuliaan. Inilah yang dicita-citakan Ki Hadjar dengan Tamansiswanya, untuk kemuliaan nusa bangsa dan rakyat. Sastra herjendrayuningrat pangruwatin dyu berarti ilmu yang luhur dan mulia menyelamatkan dunia serta melenyapkan kebiadaban.
Fatwa ini adalah juga candrasengkala,mencatat lahirnya Tamansiswa (tahun 1852 atau 1922).
2.      “ Suci Tata Ngesti Tunggal”
Dengan suci batinnya,tertib lahirnya menuju kesempurnaan,sebagai janji yang harus diamalkan oleh tiap-tiap peserta perjuangan Tamansiswa.
Fatwa ini juga sebagai candrasengkala,mencatat lahirnya persatuan Tamansiswa (tahun 1853 atau 1923).
3.      “ Hak diri untuk menuntut salam dan bahagia”
Berdasarkan asas Tamansiswa,yang menjadi syarat hidup merdeka berdasarkan pada ajaran agama,bahwa bagi Tuhan semua manusia itu pada dasarnya sama; sama haknya dan sama kewajibannya. Sama haknya mengatur hidupnya serta sama haknya menjalankan kewajiban kemanusiaan,untuk mengejar keselamatan hidup lahir dan bahagia dalam hidup batinnya. Jangan kita hanya mengejar keselamatan lahir, dan jangan pula hanya mengejar kebahagiaan hidup batin.
4.      “ Salam bahagia diri tak boleh menyalahi damainya masyarakat”
Sebagai peringatan, bahwa kemerdekaan diri kita dibatasi oleh kepentingan keselamatan masyarakat. Batas kemerdekaan diri kita ialah hak-hak orang lain yang seperti kita masing-masing sama-sama mengejar kebahagiaan hidup. Segala kepentingan bersama harus diletakkan di atas  kepentingan diri masing-masing akan hidup selamat dan bahagia, apabila masyarakat kita terganggu, tidak tertib dan damai. Janganlah mengucapkan “hak diri” kalau tidak bersama-sama dengan ucapan “tertib damainya masyarakat”, agar jangan sampai hak diri itu merusak hak diri orang lain sesama kita, yang berarti merusak keselamatan hidup bersama, yang juga merusak kita masing-masing.
5.      “ Kodrat alam penunjuk untuk hidup sempurna”
Sebagai pengakuan bahwa kodrat alam, yaitu segala kekuatan dan kekuasaan yang mengililingi dan melingkungi hidup kita itu adalah sifat lahirnya kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, yang berjalan tertib dan sempurna di atas segala kekuasaan manusia. Janganlah hidup kita bertentangan dengan ketertiban kodrat alam. Petunjuk kodrat alam kita jadikan pedoman hidup kita, baik sebagai alam kita jadikan pedoman hidup kita, baik sebagai orang seorang atau individu, sebagai bangsa maupun sebagai anggota dari alam kemanusiaan.
6.      “ Alam hidup manusia adalah alam hidup berbulatan”
Berarti bahwa hidup kita masing-masing itu ada dalam lingkungan berbagai alam-alam khusus yang saling berhubungan dan berpengaruh. Alam khusus ialah alam diri,alam kebangsaan dan alam kemanusiaan. Rasa diri, rasa bangsa dan rasa kemanusiaan,ketiga-tiganya hidup dalam tiap-tiap sanubari kita masing-masing manusia. Adanya perasaan ini tidak dapat dipungkiri.
7.      “ Dengan bebas dari segala ikatan dan suci hati berhambalah kita kepada Sang Anak”
Penghambaan kepada Sang Anak tidak lain daripada penghambaan kita sendiri. Sungguhpun pengorbanan kita itu kita tunjukkan kepada Sang Anak, tetapi yang memerintahkan kita dan memberi titah untuk berhamba dan berkorban itu bukan si anak, tetapi kita sendiri masing-masing. Di samping itu kita menghambakan diri kepada bangsa, negara pada rakyat dan agama atau terhadap lainnya. Semua itu tak lain penghambaan pada diri sendiri,untuk mencapai rasa bahagia dan rasa damai dalam jiwa kita sendiri.
8.      “ Tetep – Mantep – Antep”
Dalam melaksanakan tugas perjuangan kita, kita harus tetap hati. Tekun bekerja,tidak menoleh kekanan dan kekiri. Kita harus tetap tertib dan berjalan maju. Kita harus selalu “Mantep”, setia dan taat pada asas itu, teguh iman hingga tak ada yang dapat menahan gerak kita atau membelokkan aliran kita.
Sesudah kita tetap dalam gerak lahir kita dan mantep dan tabah batin kita, segala perbuatan kita akan “antep”, berat berisi dan berharga. Tak mudah dihambat, ditahan-tahan dan dilawan oleh orang lain.
9.      “ Ngandel – Kendel – Bandel ”
Kita harus “ngandel”, percaya jika kepada kekuasaan Tuhan dan percaya kepada diri sendiri. “ Kendel”, berani,tidak ketakutan dan was-was oleh karena kita percaya Tuhan dan kepada diri sendiri. “Bandel”,yang berarti tahan,dan tawakal. Dengan demikian maka kita menjadi “kendel”, tebal, kuat lahir batin kita, berjuang untuk cita-cita kita.
10.   “ Neng – Ning – Nung – Nang “
Dengan “neng”, meneng, tenteram lahir batin, tidak gugup, kita menjadi “ning”,wening, bening, jernih pikiran kita, mudah membedahkan mana hak dan mana batil, mana benar mana salah, kita menjadi “nung”, hanung, kuat sentosa,kokoh lahir dan batin untuk mencapai cita-cita. Akhirnya “nang”, menang, dan dapat wewenang, berhak dan kuasa atas usaha kita.

Sepuluh fatwa Ki Hadjar di atas itu merupakan welingan, pesanan dan amanat kepada kaum Tamansiswa yang berjuang menghadapi kesulitan hidup dan rintangan-rintangan yang hebat terutama di waktu jaman pemerintahan kolonial. Ia menjadi mantra yang menguatkan keyakinan perjuangan kaum Tamansiswa.

NGERTI – NGRASA – NGLAKONI
Ki Hadjar mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran, dan cita- cita hidup yang kita anut, diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan, menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkan.
Merasa saja dengan tidak pengertian dan tidak melaksanakan.menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak akan membawa hasil. Sebab itu syarat bagi peserta tiap perjuangan cita-cita, ia harus tahu, mengerti apa maksudnya, apa tujuannya. Ia harus merasa dan sadar akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula perlunya bagi dirinya dan bagi masyarakat, dan harus mengamalkan perjuangan itu.
“ Ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang tidak berbuah”. “ Ngelmu tanpa laku kothong, laku tanpa ngelmu tanpa cupet”. Ilmu tanpa amal perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu pincang. Bagi pengikut dan peserta perjuangan haruslah penuh pengetahuan dan pengertian, penuh semangat dan kemauan dan sungguh melaksanakan semua yang menjadi pengetahuan dan cita-citanya. Demikian diminta Ki Hadjar bagi tiap-tiap orang yang mengemban ayahan. 


      KESIMPULAN

Dari Tamansiswa banyak pahlawan kemerdekaan lahir yang berjuang untuk Indonesia merdeka. Dari Tamansiswa tumbuh kader-kader nasionalis, yang pada awal kemerdekaan perannya sangat signifikan di negeri ini. Hingga sekarang lambang Departeman Pendidikan Nasional diambil dari ikon Tamansiswa yaitu Tut Wuri Hadayani.               
Oleh karena itu kita sebagai generasi penerus bangsa yang berada di tengah-tengah masyarakat yang luas, hendaknya selalu berusaha menjadi pribadi yang mempunyai prinsip,serta sikap yang mencerminkan bahwa kita bisa dan harus memjadi seorang pendidik yang mendidik atas dasar ajaran dan nilai-nilai yang telah di ajarkan oleh Ki Hajar Dewantara.




DAFTAR PUSTAKA

         Tauchid,muhammad,2011,Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara,cetakan ketiga Majelis  Luhur Tamansiswa Yogyakarta,Yogyakarta
         Boentarsono, Ki B., Dwiarso, Ki Priyo dkk,2012,Tamansiswa Badan perjuangan Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat,Perguruan Tamansiswa Yogyakarta,Yogyakarta
         Sutikno, Ki,2012,Ketamansiswaan II,Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta,Yogyakarta

Kuncup Layu di Tepi Sungai


     Hari masih gelap menyelimuti  desa terpencil dilereng  gunung merapi. Burung-burung masih enggan mengeluarkan nyanyian  paginya. Yang terdengar hanyalah suara binatang-binatang malam yang memberi isyarat bahwa pagi akan segera  tiba. Udara dingin yang menusuk sampai tulang-tulang ini, tidak menghalangiku untuk bangun dari tempat  tidurku. Aku buka pintu kamarku yang hanya terbuat dari kain bekas spanduk partai itu, dan bergegas keluar rumah untuk pergi ke masjid karna adzan telah berkumandang hampir selesai.
   “Bapak tidak ke masjid, to?”  Tanya seorang  wanita yang belum begitu tua dengan mukena putih yang berada di seberang  jalan dan tidak jelas wajahnya karna sinar lampu penerangan yang jauh, dan yang harus aku panggil mbah karna strata sosial.
   “ke masjid kok mbah! masih dibelakang, mungkin lagi wudhu! ”, jawabku dengan suara sedikit menggigil kedinginan dan seakan tubuh ini menjadi beku  karna air wudhu yang masih membasahi muka dan kedua tanganku.
Wanita itu adalah mbah Dalimah atau orang sering memanggilnya bu kaji  atau mbah Hj. Dalimah. Dia adalah seorang yang terpandang dan dihormati di desaku. Mbah Hj. Dalimah mempunyai seorang anak laki-laki yang seusia denganku. Tapi  mungkin umurnya selisih satu tahun lebih tua dariku, dia adalah Aji. Heru Kurniawan Aji  ialah nama lengkapnya. Dia adalah anak yang bisa dibilang nakal, hidup bebas dalam pergaulan yang tidak baik dan kurang mempunyai sopan santun dalam hidup di masyarakat. Sifat Aji jauh dari ibunya. Padahal Mbah Hj. Dalimah adalah seorang yang dikenal dengan kedermawanannya dan suka menolong tanpa memilih-milih.
     To, biasa orang memanggilku. Namaku Darto, anak dari pak Sabar seorang pencari pasir dan bu Sukini penjual tempe kedelai. Yang tinggal di sebuah desa terpencil dilereng gunung merapi. Saya anak kedua dari tiga bersaudara. Saya mempunyai  adik Siti dan Imron. Dan mereka  masih bersekolah, Siti kelas 2 SMP dan imron kelas 3 SD. Sebenarnya Imron bukanlah adik kandungku melainkan cucu bapak dan ibu dari kakakku yang bernama Sulastri. Imron menjadi anak yatim sejak dia masih bayi. Ibunya meninggal saat melahirkannya 8 tahun yang lalu. Bapaknya pun entah kemana kami juga tidak tahu.  Semenjak Imron berusia 7 bulan didalam kandungan dia pergi meninggalkan mbak Sulastri dan sampai sekarang tidak ada kabarnya lagi. Dan sejak kematian mbak sulastri imran dirawat bapak dan ibu. Namun begitu kami tetap menyayanginya seperti anak dan adik kandung kami sendiri. Bahkan sampai saat ini Imron tidak tahu bahwa dia bukan anak bapak dan ibu, melainkan anak dari kakakku mbak Sulastri. Aku juga tidak akan memberitahunya sekarang, karna menurutku dia belum siap untuk mengetahui hal itu.
                             
Mbah  (jawa), panggilan untuk orang yang lebih tua atau karna strata sisoal dalm masyarakat.
Kaji  (jawa), panggilan untuk orang yang sudah menunaikan ibadah haji. Dan berasal dari kata haji.
Mbak (jawa), panggilan untuk kakak perempuan dan wanita yang lebih tua.


   “Ayo to, kita berangkat  nanti keburu siang!”, suara bapak memanggilku dari halaman depan rumah dengan nada lantang yang sedikit dipaksa  sambil menyiapkan peralatan yang hendak dibawa dengan tergesa-gesa.
   Seperti biasa setiap pagi saya bersama bapak berangkat  menuju sungai tempat kami biasa bekerja mencari pasir. Dirumah ibu sibuk mempersiapkan barang-barang yang hendak di bawa ke pasar untuk berjualan tempe. Seorang ibu tua yang sudah mulai keriput kulitnya itu, tidak mempunyai rasa lelah untuk berjalan setiap pagi menuju pasar demi mendapatkan uang untuk membeli beras dan membeli perlengkapan sekolah anak-anaknya. Terkadang, ibu pulang dari pasar dengan wajah lesu karna tidak mendapatkan uang sama sekali. Namun ibu tetap semangat “itulah resiko berjualan!”. Kata ibu untuk menyemangati dirinya sendiri.  Terkadang  kalau lagi ramai dagangan yang ibu bawa habis terjual. Tetapi kalau sedang sepi dagangan ibu tidak habis, bahkan terkadang tidak laku sama sekali. Namun  itu sudah hal biasa bagi ibu.
   “Hari gini ngga sekolah, mau jadi apa?”  suara lantang Aji, sambil menirik kearahku. Saat  kami berpapasan dijalan, aku berangkat kerja bersama bapak dan dia akan berangkat kesekolah bersama teman-temannya. Setelah itu dia menggembor-gemborkan motornya dan langsung ngebut setelah menoleh kearahku. ”Mungkin maksud Aji adalah menyindirku yang tidak sekolah seperti mereka!”. Gumanku dalam hati.
Dengan wajah tertunduk aku hanya diam. Bapak pun juga tidak berkata apa-apa. Kami terus berjalan seakan waktu terus mengejar untuk cepat-cepat sampai disungai.
   Penghasilan bapak yang hanya penambang pasir dan ibu seorang penjual tempe  dipasar, yang membuatku harus putus sekolah dari kelas 1 SMP. Karena tidak bisa membayar SPP dan membeli buku sekolah. Hingga akhirnya, saya juga harus ikut membantu mereka bekerja mencari uang untuk mencukupi kebutuhan kami sehari-hari.  Di usiaku yang bisa dibilang masih  muda itu, aku harus meninggalkan bangku sekolah untuk membantu orang tua. Tidak seperti mereka yang dapat menikmati bangku sekolah kayak Aji dan teman-teman seusiaku. Tetapi aku tidak pernah marah kepada orang tuaku. Aku Sadar bahwa mereka memang tidak mampu menyekolahkan aku seperti anak-anak yang lain. Walaupun sekarang aku harus putus sekolah dan bekerja keras membantu orang tua, tetapi aku mempunyai cita-cita, bahwa suatu saat nanti aku dapat membiayai adik-adikku sekolah sampai SMA atau bahkan sampai kuliah kalau bisa. Meskipun itu  hal yang sangat berat dan tidak mungkin  untuk keluarga miskin dan anak putus sekolah seperti aku. Setelah sampai disungai kami pun langsung mulai bekerja tanpa harus duduk untuk istirahat terlebih dahulu. Di saat kami sedang bekerja tiba-tiba bapak menghentikan pekerjaannya dan mengatakan sesuatu padaku.

  “Maafkan bapak dan ibumu ya to,  karna tidak bisa menyekolahkan kamu seperti teman-teman kamu itu,”  sambil memegang pundakku dengan suara lirih dan nafas terengah-engah karna kelelahan  bekerja.
   “Iya pak, ngga apa-apa, Darto ngerti kok ,”   jawabku sambil memandangi  butir-butir keringat yang keluar dari dahi bapak.
   “Harapan bapak hanya kamu,Darto!”
   “Bapak sudah tua, kalau sewaktu-waktu Allah memanggil bapak, kamu harus membantu ibumu  mencari uang untuk keluarga dan biaya sekolah adik-adikmu, ya to?,”  suara yang sedikit parau seperti menahan air mata.
Sejenak aku menghentikan pikiranku yang sedang memikirkan sesuatu setelah mendengar perkataan bapak itu.
    “Jangan bilang begitu pak, mati itu hanya Allah yang tahu, kita tidak tahu kapan kematian itu datang.” Jawabku dengan hati yang sedikit haru.
 Kemudian aku berajak dari tempat dudukku dan mengambil air minum dari dalam karung bekas itu untuk bapak yang kelihatannya sangat haus. Sambil memandangi batu-batu besar disekelilingku, hatiku terselimuti tanda Tanya. “Kenapa bapak ngomong seperti itu?”. Gumankku dalam hati. membayangkan bagaimana bila suatu saat nanti bapak benar-benar meninggalkan aku dan ibu,serta adik-adikku. Apakah aku bisa membantu mencari uang untuk ibu serta biaya sekolah Siti dan Imron. Padahal selama ini aku mendapatkan uang hanya karna membantu bapak mencari pasir, kalau mencari uang sendiri sepertinya aku belum bisa. Disaat aku membayangkan itu semua, tiba-tiba suara klakson mobil truk yang hendak mengambil pasir mengagetkanku.
   Tidak terasa, hari sudah mulai sore kami pun mulai membereskan peralatan untuk segera dibawa pulang . Dengan hanya berjalan kaki dan yang seolah tidak mempunyai rasa lelah dengan pekerjaan seharian itu, kami terus menyusuri  jalan untuk sampai dirumah.
   Pagi itu tidak seperti biasanya. Bapak yang terkadang membangunkanku untuk sholat shubuh tidak dilakukannya. Disetengah sadarku dari tidur ini, tiba-tiba terdengar suara lirih dari kamar bapak  seperti orang yang sedang kesakitan dan itu seperti suara bapak.
“aduhhhh………ahhh………
Aduhhhhhhhhhhh……..bu…….”
   “Kenapa perutku ini bu? rasanya ini kaya ditusuk-tusuk !” keluh bapak . 
 Mendengar suara itu, aku langsung bangun dan keluar  menuju kamar bapak. Ku dapati sudah ada Siti dan ibu yang sedang mengurut perut bapak pakai balsam. Dan ku lihat imron masih tertidur pulas di samping pojok tempat tidur bapak yang hanya terbuat dari bambu itu.
   “Bapak kenapa bu?” tanyaku sambil melihat bapak yang sedang memegang perutnya karena menahan rasa sakit.
   “Ngga tahu ini le, katanya perutnya sakit kaya ditusuk-tusuk” jawab ibu dengan wajah sedikit cemas.
   “Suntik ya pak? Aku panggilakan dokter?”   tanyaku
Bapak hanya terdiam sambil menganggukkan kepalanya.
   “Tapi ibu tidak ada uang, le!” sahut ibu dan menoleh kepadaku sambil mengulurkan tangannya.
   “Darto ada uang sedikit bu!, insyaallah cukup, nanti  kalau memang kurang aku akan kerumah mbah Dalimah untuk meminjam uang, ”  jawabku dengan nada yang meyakinkan ibu agar tidak cemas dengan keadaan bapak.
   Setelah beberapa menit menuggu ahirnya dokter itu datang bersama pak yanto yang aku minta tolong untuk memanggilkan dokter Edi. Dan kebetulan Pak Yanto adalah Ketua RT di kampungku. Karena aku tidak mempunyai kendaraan untuk kerumah dokter Edi, aku meminta tolong pak Yanto untuk memanggilkannya.
     Sambil bertanya-tanya kepada bapak tentang keluhan yang dirasakan, dokter itu memeriksa dengan alat yang salah satu ujungnya bercabang dua dan dimasukkan kedalam masing-masing telinga pak dokter kemudian ujung yang satunya berbentuk  bulat dan ditempel-tempelkan di dada bapak. Entah alat apa itu aku juga tidak tahu. Maklum aku hanya sekolah sampai kelas 6 SD, jadi tidak tahu tentang alat kedokteran semacam itu. Sesekali dokter itu memukul-mukul  perut bapak dengan ujung jari telunjuknya sambil membungkuk. Setelah selasai memeriksa dokter itu kemudian berbicara dengan ibu. Menyarankan untuk membawa pak Sabar, suaminya kerumah sakit supaya mendapatkan penanganan yang lebih intensif demi kesembuhannya. Kemudian ibu bermusyawarah  dengan pak yanto tentang hal itu. Setelah dimusyawarahkan ahirnya bapak dibawa kerumah sakit.
   Setelah sampai dirumah sakit bapak pun langsung dimasukkan oleh perawat ke ruang UGD untuk diperiksa. Karna kami tidak boleh masuk ke ruangan itu, akhirnya  kami pun hanya menunggu diluar. Aku lihat ibu hanya duduk diam dengan wajah cemas dan meneteskan air mata. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya dokter yang memeriksa bapak keluar. 
   “Bagaimana keadaan pak sabar, pak?” Tanya pak yanto sambil mendekati dokter itu.
   “Pak sabar terkena tifus, namum sudah akut, sebaiknya saya sarankan untuk dirawat dirumah sakit untuk beberapa hari, untuk kesembuhannya!”  jawab dokter itu.
Setelah berbicara dengan pak yanto dokter itupun masuk kedalam ruangan itu lagi. Kemudian pak yanto menghampiri ibu untuk membicarakannya. Aku juga tudak tahu apa yang dibicarakan pak yanto sama ibu, karna aku harus mengikuti perawat yang membawa bapak kekamar pasien. Dan setelah beberapa menit ibu menyusul. Dengan hati sedikit cemas aku bertanya kepada ibu tetang masalah biaya rumah sakit bapak.
   “Bu, gimana nanti untuk bayar biaya bapak di rumah sakit ini?” tanyaku yang sedikit cemas dan ingin tahu.
   “Uang untuk beli obat sementara ini dipinjemi pak yanto le, tapi untuk biaya rumah sakit katanya pakai JAMKESMAS yang juga lagi diuruskan sama pak yanto.” Jawab ibu dengan suara lirih sambil memijit-mijit tangan bapak.
  “Alhamddulliah kalau begitu.  Semoga bapak cepat sembuh dan segera dibawa pulang.”
   “Amin. Ow…ya. Le, mending kamu pulang dulu saja, kasian Siti sama imron mereka dirumah sendiri, biar ibu yang jaga bapak!”   Perintah ibu sambil memegang lengan tanganku dan berdiri lalu mengajakku keluar kamar pasien.
   Setelah satu minggu dirawat dirumah sakit keadaan bapak tidak juga membaik. Semakin hari tidak menunjukan tanda-tanda akan kesembuhannya, tetapi palah semakin parah. Melihat keadaan bapak yang sudah tidak bisa apa-apa, akhirnya ibu memutuskan untuk membawanya  pulang  untuk dirawat dirumah. Dirumah pun bapak juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Tiga hari  sepulang dari rumah sakit, akhirnya bapak tidak mampu lagi melawan penyakitnya dan dia pun meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Betapa sedihnya perasaanku ketika harus menerima kenyataan bahwa harus kehilangan sosok seorang bapak yang yang begitu sayang dengan keluarga, orang yang mempunyai sifat narimo tidak pernah mengeluh pada keadaan, orang yang sangat berbakti kepada tuhannya dan seorang yang  pekerja keras. Melihat wajah lugu Imron yang masih kecil itu yang sesekali mengusap matanya karna menagis, hati ini tidak tega dan semakin larut dalam kesedihan. Seorang anak yang masih sangat kecil itu dia harus kehilangan sosok seorang bapak. Meskipun bukan bapak kandungnya bahkan bapak kandungya sendiri pun dia tidak tahu.
   Semenjak kematian bapak aku harus bekerja lebih keras lagi mencari uang untuk membantu ibu dan biaya sekolah adik-adikku.  Aku hanya bisa berharap mereka tidak akan merasakan apa yang saya rasakan sekarang. Waktu terus berjalan hingga tidak terasa sebentar lagi Siti lulus SMP.  Semoga saja aku bisa membiayai sekolah SMAnya meskipun hanya diswasta yang kurang berkualitas.  “Tapi dapat uang dari mana?” gumanku dalam hati.  “sudahlah, insyaalah besok Allah pasti memberi jalan keluarnya, yang penting aku tetap harus berusaha”. Ketika kami sedang duduk-duduk di dapur Siti berkata kepada saya.  
   “Mas sebentar  lagi kan Siti lulus, Setelah lulus Siti mau bekerja saja  membantu ibu,”  katanya dengan nada yang sedikit  menaruh rasa iba kepada keluarga.
                                                                                                                        
Narimo (Jawa), menerima dengan lapang dada.
  “Tidak Siti, kamu lanjutin sekolah saja biar mas yang bantu ibu bekerja. Besok kalau kamu sudah lulus SMA kamu boleh bantu ibu. Ya………… dengan ijazah SMA kamu itu kan bisa mencari pekerjaan yang lebih baik di kota!”.  Jawabku kepada siti.
   “Tapi mas aku kasian melihat ibu sama mas harus pontang panting mencari uang untuk biaya sekolah Siti sama Imron?”
   “Iya………., memang ibu sama mas kesana kemari untuk mencari uang dan itu juga untuk sekolah kalian. Ibu dan mas hanya bisa berharap nasib kalian tidak seperti mas mu ini. makanya kalian kalau sekolah harus bersungguh-sungguh!”.  
   “Tapi mas?
   “Udah Siti, kalau ibu ada uang untuk biaya kamu lanjutin sekolah? Kamu sekolah aja! Biar kamu besok bisa kerja di kota dan menjadi orang sukses!.  Jawab ibu yang memotong pembicaraan kami.
   “Iya bener ibu tu, emangnya kamu mau menjadi orang yang susah terus kaya mas mu ini? Yang tidak bisa bekerja dikota dan hanya menjadi penambang pasir karna tidak sekolah?
Mendengar jawaban saya sama ibu Siti pun hanya terdiam dan menundukkan kepala.
   Sebenarnya aku tidak hanya mencari pasir. Tetapi aku juga bertani meskipun hanya sedikit. Kebetulan bapak itu mempunyai satu petak sawah yang sangat kecil, mungkin sebanding dengan setengah lapangan voli. Sehingga panen yang dihasilkannya pun tidak banyak. Tetapi aku tetap semangat dan bekerja keras untuk mengolah sawah itu. Melihat semangatku itulah yang ahirnya mbah Hj. Dalimah mempercayakan sawahnya untuk digarap olehku. Dan mungkin karna dia juga seorang janda jadi tidak mampu untuk menggarap sawahnya seorang diri.
   Setelah kebaikan mbah Hj. Dalimah itu ekonomi keluarga kami semakin baik dan mempunyai sedikit uang untuk ditabung. Sesekali saya,Siti, dan Imron menyempatkan diri untuk bermain kerumah mbah Hj. Dalimah untuk membantu bersih-bersih rumahnya yang besar itu. Meskipun disana ada Aji yang tidak pernah suka denganku. Entah apa yang membuat Aji begitu benci denganku. Namun hal itu tidak menghalangiku untuk tetap datang kerumah mbah Hj. Dalimah. Hal itu terkadang aku bicarakan sama ibu. Namun jawaban ibu selalu menenangkan saya. “Meskipun Aji tidak menyukaimu tapi kamu jangan dendam dengannya lho le! Demdan itu ngga baik!.
   Ibu memang orang yang bijaksana. Dia tidak pernah mengajarkan kepada anak-anaknya untuk membenci orang apalagi sampai menyakitinya. Ibu selalu mengajarkan tentang  kesabaran, kejujuran dan bersyukur dengan semua pemberian Allah. Namun terkadang aku merasa kasihan dengan ibu,  diusianya yang setua itu dia masih harus bekerja keras untuk menghidupi anak-anaknya. Seharusnya diusianya yang sudah memasuki kepala tujuh itu, dia sudah berhenti bekerja.
 Mengistirahatkan badannya yang sudah mulai membungkuk dan wajahnya yang mengeriput, dan  yang seakan mengatakan ini lah bukti sebuah perjuangan keras yang telah dijalani dimasa lalunya untuk menghidupi keluarga. Ibu juga tidak pernah mengeluh tentang kondisi keluarga yang jauh dari hidup mapan.
   Pada suatu malam ketika aku sedang duduk-duduk dengan ibu terdengar suara Siti dari dalam kamar yang sedang muntah-muntah.
   “Kamu kenapa Siti, sakit?”  tanya ibu sambil memijit-mijit leher belakangnya.
   “Ngga bu, Cuma perut Siti sedikit mual!”  jawab Siti  sambil memegangi perutnya.
   “Besok kamu ikut ibu ke Puskesmas, besok ngga usah sekolah dulu aja!”. Jawab ibu.
Setelah mengoleskan balsam keperut Siti kemudian  ibu menyuruhnya untuk tidur. Dan aku sama ibu pun keluar dari kamar Siti.
   Keesokkan harinya aku melihat ibu bersama Siti pergi ke Puskesmas. Entah apa yang terjadi sepulang kerja dari sawah aku dapati ibu berbaring dikamar tidurnya. Sesekali aku dengar  suara ingus yang dihisap masuk kedalam hidung dan suara tangis yang begitu lirih dan tersendat-sendat. Mendengar itu  aku tak sabar lagi untuk mengetahui pa yang sebenarnya terjadi. Aku beranikan diri untuk masuk ke kamar ibu dan bertanya.
   “Bu, sepertinya ibu nangis? Ada apa bu ?”   tanyaku sambil memegang tangannya
   “Adikmu Darto!” jawab ibu dengan suara parau.
   “Ada apa dengan Siti bu?    Tanyaku dengan wajah penasaran.
   “Siti Darto? Siti hamil!”  jawab ibu dengan suara yang sedikit lantang,dan menambah keras tangisnya.
Mendengar jawaban ibu, tubuh ini menjadi lemas tak berdaya. Aku hanya terduduk disamping ibu, rasanya kaki ini tak mampu menahan berat beban tubuhku untuk berjalan keluar kamar. Pikiranku membeku tanpa ada bayangan yang terlintas di otakku. Aku hanya memandang dengan tatapan kosong jauh kesana. Harapanku telah hilang. Sebuah cita-cita yang aku bangun dengan keringatku sendiri, telah hancur dan pupus.
     “Kuncup mawar yang layu meskipun hidupnya ditepi sungai”. Setangkai bunga yang belum mekar dan masih kuncup sudah layu padahal hidupnya dekat sumber air. Kalau difikir itu tidak mungkin bunga didekat sumber air sampai layu. Itulah ibarat adikku, Seorang gadis yang masih muda usiannya  tidak bisa menjaga dirinya dari kehinaan pergaulan zaman, meskipun hidup di didik dilingkungan yang baik dan dengan unsur agama yang kuat. Dunia ini memang kejam, Membawa orang ke lembah-lembah kehinaan. Dalam diamku, aku hanya bisa berdoa.  “Ya Allah ampunilah dosa adiku dan Jadikanlah kami orang-orang yang sabar dan kuat dalam menerima cobaanmu, amin”.

Oleh : Riffai

Sunday 15 June 2014

Potrait Pendidikan di waingapu Di SD Katolik Andaluri


Sinar pagi pun membangunkanku dari tidurku. Aku pun langsung bergegas mandi dan bersiap ke sekolah. Saat itu aku berusaia 11 tahun dan aku menginjak kelas 6 SD di sekolah dasar katolik Anda Luri. Saat sebelum bergegas ke sekolah, aku menyiapkan roster (menyiapkan buku pelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran yang akan diterima pada hari itu) dan aku baru menyadari bahwa aku belum mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR). Saat sampai disekolah, tiba saatnya guru kami memeriksa PR yang diberikannya. Banyak teman-teman sekelas yang mengerjakannya dan ada beberapa teman lain termasuk aku yang lupa mengerjakannya. Bu guru pun langsung bertindak terhadap kelalaian kami. Ia mempunyai semboyan Lupa  = Palu, maka kami yang lupa mengerjakan tugas itu pun di pukul dengan mistar panjang dan harus berjanji untuk tidak lupa mengerjakan PR berikutnya. Itu merupakan 1 dari sekian hukuman yang diberikan oleh guru kami saat kami tidak mengindahkan perintahnya atau melakukan sesuatu yang salah di matanya.
Sekolah kami memiliki 12 ruang belajar yang menjadi kelas 1A, 1B sampai dengan kelas 6A dan 6B. Saya merupakan kelas B artinya dari kelas 1 hingga kelas 6 saya selalu berada pada kelas B. Dan hal itu bukan merupakan hal yang baik dalam pikiran ku pasalnya kelas B terdiri dari guru-guru yang berkarakter keras, tegas dan memberi banyak tugas-tugas yang melelahkan. Namun ternyata tidak terlalu bergitu menyeramkan, asalkan kami menjadi murid yang baik, rajin dan patuh dimata guru kami. Sama seperti teman-teman yang lain, saat kegiatan belajar mengajar merupakan saat-saat yang sangat membosankan dan menjengkelkan. Hal yang di tunggu-tunggu hanyalah jam istirahat yaitu jam bermain. Model belajar seperti ini bukan hal yang baru di kebanyakan sekolah, pasalnya semua sekolah menerapkan hal yang sama dan hal ini pun didukung oleh orang tua kami. Banyak teman-teman saya yang menjadi pintar dalam akadeimik namun banyak juga yang malahan sangat membenci sekolah. Di luar sekolah, anak-anak sangat akrab dengan lingkungan tempat tinggalnya. Jadi sebagian karakter anak muncul bukan karena disekolahkan tetapi karena pengaruh  lingkungan disekitar tempat tinggalnya. Nah karakter yang berbeda-beda ini, akan hilang saat berada disekolah. Kami seakan memiliki karakter yang sama. Yang nakal sekalipun akan takluk di hadapan ibu guru. Saat beranjak SMP barulah kami memiliki keberanian untuk bergaul dengan bapak ibu guru dan akrab dengan mereka.


Oleh: Edigius Alberson Sanga Sabon

FOUNDING FATHER

DEWANTARA


Dewantara adalah Dewa diantara orang banyak. Nama ini adalah nama narsis dari Bapak Soewardi Soeryaningrat. Dalam artian dia memberikan gelar kepada dirinya sendiri yang artinya sederhana.
Dewantara adalah menjadi pelindung adik – adiknya serta mengikuti jejak Ki Hajar Dewantara untuk berkarya dalam bidang pendidikan. Contoh konkretnya mahasiswa senior melindungi adik – adik yang masih junior dan  mengarahkan untuk mengikuti jejak founding father kita.
Bapak Soewardi Soeryaningrat sejak tahun 1922 mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara dengan maksud ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan, yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria, artinya dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria yang mempersiapkan diri dan peserta didiknya untuk melindungi bangsa dan negara. Jadi, arti kata Ki Hajar Dewantara yang sesungguhnya : “  Proses memanusiakan manusia ( humanisme ) yakni pengangkatan manusia ke taraf insani.