Tuesday 24 October 2017

Gunung Pasir Dihempas Percikan Air Sungai

Dua bocah membuat gunung - gunungan di pinggir sungai. Mereka bersemangat mengumpulkan pasir - pasir yang diambil langsung dari sungai. Tangan dan jari - jarinya yang masih kecil berulang kali gagal untuk membuat gunung yang tinggi sesuai gambarannya.

Pada awalnya mereka tetap berteriak kegirangan ketika gunung pasir yang mereka bentuk runtuh, entah karena tersapu air yang kadang riaknya sampai ke atas atau roboh sendiri karena pasir yang ada di bawahnya  telah mengering.

Mereka tidak putus asa. Jari - jari lentik mereka menyusun pasir dan membentuk gunung dengan hati hati. Hingga akhirnya salah seorang diantara mereka mereka berhasil membuat sebuah gunung pasir yang runcing ujungnya. Ia tertawa bangga akan hasil karyanya. Bahkan ia sempat menyebut dirinya lebih pandai dari pada temannya.

Karena merasa ditertawakan, teman anak itu mengambil air dan menyiramkannya ke gunung yang ujungnya runcing itu, sehingga robohlah gunung pasir kebanggaan itu. Kedua bocah yang tadi berangkat dan bermain bersama sekarang berkelahi.

Untung ada orang melihat kejadian itu. Dengan segera kedua anak dan diajak untuk saling memaafkan satu dengan yang lain. Kedua bocah saling bersalaman, mereka tertawa geli setelah melihat gunung - gunungan pasir mereka telah rata karena tersiram air sungai.

Tak jauh dari tempat itu beberapa murid sekolah yang sedang mencuci tenda bersimpati atas perbuatan sang nelayan yang telah mendamaikan ke dua bocah yang tadi bertengkar. Tetapi baru saja ia akan melangkah, sang nelayan sudah lebih dulu mengambil langkah.
"Bapak mau kemana?" tanya seorang murid.
"Saya ingin pulang!"
"Mengapa bapak tidak ingin mencari ikan lebih banyak lagi sebab disini ikannya sangat banyak!"
"Mengapa saya harus mencari ikan?"
"Supaya Bapak dapat menjual ikan sehingga Bapak dapat cepat menjadi kaya?"
"Mengapa saya harus kaya?"
"Dengan kekayaan hidup bapak menjadi tenang!"
"Sekarang saja hidup saya penuh ketenangan. Hanya orang - orang bodohlah yang menganggap kekayaan sebagai penjamin hidup tenang. apabila orang berhasil memperoleh kekayaan ia akan cenderung untuk merasa kekurangan sehingga mencari kembali begitu seterusnya.

Orang yang beranggapan, kekayaan atau harta melimpah sebagai penjamin kebahagiaan ia akan kecewa. Sebab ia tidak segan - segan berbuat tidak jujur, melukai orang, bersikap tidak adil, tega menutup mata terhadap penderitaan orang lain. Padahal semua itu pada akhirnya membuat hidup tidak bermakna penuh penyesalan."

Saturday 2 September 2017

TOLERANSI DIMATA SAYA

Hidup dalam lingkungan yang beragam agama memang membutuhkan sedikit kepekaan untuk mengerti, merasakan, dan ikut ambil bagian dalam aktivitas keagamaan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa kita adalah makluk sosial yang berakhlak. Tentunya bahwa manusia adalah ciptaan yang lebih dari ciptaan lainnya. Manusia diberi akal budi untuk berpikir apa yang baik dan buruk. Tapi tidak semua manusia menggunakan pikiran untuk hal – hal yang baik karena pilihan itu selalu ada. Yang baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain dan sebaliknya.

Indonesia akhir – akhir ini dilanda krisis toleransi. Banyak media – media baik media massa elektronik maupun cetak hangat membicarakan toleransi. Bahkan di acara – acara seminar, atau diskusi – diskusi banyak mengangkat tema tentang toleransi. Toleransi itu sendiri sudah lama dan sudah melekat dalam darah orang Indonesia tapi mengapa baru sekarang diangkat lagi, seolah – olah itu hal baru yang harus diterapkan dalam kemajemukan Indonesia. Sebenarnya, apa itu toleransi? Apakah kita salah menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari atau apakah ‘Toleransi’ itu seperti Undang – Undang yang harus direvisi sewaktu – waktu?

Terkait hal tersebut, saya ingin bercerita sedikit tentang bertoleransi menurut versi saya. Versi bertoleransi saya sangat sederhana. Saya adalah seorang mahasiswa di Yogyakarta sekaligus sebagai anak kos – kosan. Tinggal dalam kos – kosan dimana kami berjumlah delapan anak kos yang mempunyai tiga agama yang berbeda. Saya beragama Kristen Katolik, Tri dan Jemsy beragama Kristen Protestan, Bambang, Toni, Chandra, Nanang, dan Risky beragama Islam. Kehidupan bertoleransi kami sangat tinggi walau sederhana. Hal ini terbukti lewat kami bertegur sapa, terkadang masak dan makan bersama, bermain bahkan nonton bola bersama – sama tanpa adanya sekat atau pemisah yang bernama agama diantara kami.

Lain lagi cara saya sendiri berteman terutama dengan teman - teman muslim di kos. Saya sering mengucapkan “Assalamu’alaikum” jika pergi dan pulang dari manapun karena saya tahu bahwa arti dari kalimat itu baik. Dan merekapun menjawab “Wa’alaikum Salam”. Juga kepada keluarga bapak kos, saya tidak segan – segan mengucapkan hal yang sama bila bertamu ataupun sekadar meminjam sesuatu. Bila saat azan berkumandang, saya akan menghentikan aktivitas saya sebentar, misalnya menulis, menonton, mendengar musik atau apapun itu karena saya juga harus berdoa ‘Angelus’. Selanjutnya saya mengingatkan mereka apakah sudah shalat atau belum. Sejujurnya, jika azan berkumandang bukan sikap toleransi saya yang pertama terhadap mereka, tapi hal pertama saya berpikir bahwa itu adalah doa dan pujian kepada Allah dan harus menghormati – Nya. Dan sikap toleransi kepada mereka itu adalah hal kedua. Bila hari jumat tiba, saya akan mengingatkan mereka untuk pergi Jumatan. Sebaliknya bila hari minggu tiba, mereka juga mengingatkan saya untuk pergi misa mingguan. Jika saya minta salah satu dari mereka yang ada di kos untuk mengantar saya ke gereja, mereka tidak segan – segan melakukan itu.

Satu lagi yang hampir saya lupa, yaitu mengenai puasa. Jika bulan puasa tiba, teman – teman muslim akan berpuasa. Yang mengasyikkan adalah mereka tetap memperbolehkan saya makan di dekat mereka walaupun menurut saya itu pasti mengganggu puasa mereka. Tapi mereka bilang bahwa puasa itu saatnya melawan godaan bukan menghilangkan godaan tersebut. Apakah makanan saya adalah cobaan? Jawabnya ya. Lalu apakah saya mencobai mereka? Tidak! Saya merasa bahwa inilah wujud dari toleransi yang tidak mencederai keimanan saya dan teman – teman beda agama. Kadang saya dengan Risky sering berbagi cerita tentang kitab suci masing – masing karena kami sepakat bahwa agama itu untuk disharingkan bukan untuk didebatkan.


Inilah cara - cara  saya menyikapi perbedaan dan saya sangat menikmatinya dengan senang hati. Semoga menginspirasi.

Saturday 25 March 2017

KEKURANGANNYA BUKANLAH SEBUAH LELUCON YANG HARUS KAMU TERTAWAI

“Tak ada orang di dunia ini yang sempurna”, begitulah kalimat yang sering diucapkan orang jika dirinya merasa terjepit dalam suatu perdebatan atau jika salah mengerjakan sesuatu. Di desa, ibu – ibu sering berkumpul dan saling mencari kutu di kepala sambil bergosip menjelek - jelekkan ibu – ibu lain yang bukan partner gosipnya lalu si bapak datang dan mengatakan “Jangan suka bergosip! Ingat, manusia tak ada yang sempurna”!

Berbicara mengenai kekurangan atau ketidaksempurnaan, saya teringat dengan kaum difabel atau disabilitas. Siapa sajakah yang termasuk kaum itu? Ada orang buta, tuli, bisu, lumpuh, keterbelakangan mental, wanita malam, dan masih banyak lagi yang ditolak keberadaannya.

Saya ingin menceritakan sedikit pengalaman saya sewaktu di kampung. Di sana ada banyak saudara – saudara saya penyandang difabel. Ada yang bisu, buta, tuli, dan gila. Kebetulan salah seorang yang gila itu usianya masih muda dari saya dan tidak dipasung karena tidak mengganggu orang lain. Namanya Ferdy. Sebenarnya kurang cocok kalau saya katakan gila dan lebih tepatnya sarafnya putus dikarenakan sewaktu kecil sering sakit panas dan menyebabkan step terus menerus sampai keadaan saraf otaknya terganggu. Dia suka menyanyi walaupun seratus persen ngawur. Mungkin karena bukan gila makanya dia bisa mencari uang dari hasil nyanyiannya, mencari cabe di semak – semak yang tumbuh liar lalu menjualnya di pasar Baing yang beroperasi setiap hari rabu. Uang hasil jualannya untuk membantu ibunya yang sudah menjanda. Biasanya dia membeli keperluan dapur seperti bumbu – bumbu, sayur – mayur, atau kue untuk kakak – kakak dan adik – adiknya. Uang hasil nyanyinya lumayan banyak juga. Kadang – kadang mencapai ratusan ribu. Di samping banyak yang terhibur dengan nyanyiannya, tidak sedikit pula orang yang mengejeknya karena kotor, bau, atau mungkin karena dia beda dari orang normal pada umumnya sehingga mengata – ngatai, memaki, ataupun memukulnya.

Sebenarnya, apa itu kesempurnaan dan kekurangan? Bukankah kesempurnaan itu mutlak kepunyaan Tuhan Allah semata? Manusia bukanlah pribadi yang sempurna. Orang normal itu hanya lebih baik saja dari orang abnormal. Lalu mengapa ada ejekan, makian, cemoohan, dan cibiran? Bacaan injil tadi di gereja diambil dari injil Yohanes 9:1-41, berbicara tentang seorang buta yang disembuhkan Yesus. Saya sangat tertarik pada ayat 2-3 dari pasal tersebut yang berbunyi:
Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi supaya pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan di dalam dia”.

Di sini Yesus membetulkan pemahaman salah para murid bahwa setiap penyakit yang berat adalah akibat suatu dosa. Kadang-kadang penyakit disebabkan oleh dosa serius (Yoh 5:14), tetapi tidak selalu. Kadang-kadang penderitaan diizinkan Allah karena maksud ilahi, yaitu untuk menunjukkan kemurahan, kasih, dan kuasa Allah. Di dalam dunia sering kali orang yang tidak bersalah akan menderita sedangkan orang jahat tidak (bd. Mazmr 73:1-14). Peristiwa Yesus mencelikkan matanya menjadi salah satu bukti bahwa Yesus adalah Mesias (ayat 32-33). Sebuah kesaksian yang kuat di tengah tekanan orang Farisi yang membutakan hati dan menolak percaya. Apa kondisi yang harus ada agar pekerjaan Allah ini dinyatakan? Kita tahu jawabnya: orang ini harus terlahir buta.

Jika kita ditimpa kemalangan, kita cenderung bertanya, mengapa saya yang mengalami penderitaan ini. Kenapa bukan orang lain yang lebih jahat? Atau, andaikan orang lain yang berdosa, mengapa saya yang harus menanggung akibatnya? Pertanyaan-pertanyaan tidak terjawab ini berpotensi membuat kita makin terpuruk dalam kesedihan dan mengobarkan kemarahan karena merasa Allah berlaku tidak adil atau menghukum kita terlalu berat. Selain itu, kita mungkin kehilangan simpati terhadap orang yang kurang beruntung, menganggap sudah selayaknyalah ia menanggung derita tersebut.

Orang tua, sanak famili ataupun orang itu sendiri tidak mempunyai keinginan untuk cacat sejak lahir atau suatu saat akan cacat. Bukankah orang normal maupun orang abnormal itu sama – sama ciptaan Tuhan? Kalau mengerti tentang hal itu lalu mengapa ada cacian dan ejekan kepada penyandang disabilitas? Jika kamu salah satu orang yang suka mengolok - olok saudara – saudara penyandang disabilitas berarti kamu adalah salah satu orang yang meremehkan ciptaan Tuhan.