Tuesday, 24 October 2017

Gunung Pasir Dihempas Percikan Air Sungai

Dua bocah membuat gunung - gunungan di pinggir sungai. Mereka bersemangat mengumpulkan pasir - pasir yang diambil langsung dari sungai. Tangan dan jari - jarinya yang masih kecil berulang kali gagal untuk membuat gunung yang tinggi sesuai gambarannya.

Pada awalnya mereka tetap berteriak kegirangan ketika gunung pasir yang mereka bentuk runtuh, entah karena tersapu air yang kadang riaknya sampai ke atas atau roboh sendiri karena pasir yang ada di bawahnya  telah mengering.

Mereka tidak putus asa. Jari - jari lentik mereka menyusun pasir dan membentuk gunung dengan hati hati. Hingga akhirnya salah seorang diantara mereka mereka berhasil membuat sebuah gunung pasir yang runcing ujungnya. Ia tertawa bangga akan hasil karyanya. Bahkan ia sempat menyebut dirinya lebih pandai dari pada temannya.

Karena merasa ditertawakan, teman anak itu mengambil air dan menyiramkannya ke gunung yang ujungnya runcing itu, sehingga robohlah gunung pasir kebanggaan itu. Kedua bocah yang tadi berangkat dan bermain bersama sekarang berkelahi.

Untung ada orang melihat kejadian itu. Dengan segera kedua anak dan diajak untuk saling memaafkan satu dengan yang lain. Kedua bocah saling bersalaman, mereka tertawa geli setelah melihat gunung - gunungan pasir mereka telah rata karena tersiram air sungai.

Tak jauh dari tempat itu beberapa murid sekolah yang sedang mencuci tenda bersimpati atas perbuatan sang nelayan yang telah mendamaikan ke dua bocah yang tadi bertengkar. Tetapi baru saja ia akan melangkah, sang nelayan sudah lebih dulu mengambil langkah.
"Bapak mau kemana?" tanya seorang murid.
"Saya ingin pulang!"
"Mengapa bapak tidak ingin mencari ikan lebih banyak lagi sebab disini ikannya sangat banyak!"
"Mengapa saya harus mencari ikan?"
"Supaya Bapak dapat menjual ikan sehingga Bapak dapat cepat menjadi kaya?"
"Mengapa saya harus kaya?"
"Dengan kekayaan hidup bapak menjadi tenang!"
"Sekarang saja hidup saya penuh ketenangan. Hanya orang - orang bodohlah yang menganggap kekayaan sebagai penjamin hidup tenang. apabila orang berhasil memperoleh kekayaan ia akan cenderung untuk merasa kekurangan sehingga mencari kembali begitu seterusnya.

Orang yang beranggapan, kekayaan atau harta melimpah sebagai penjamin kebahagiaan ia akan kecewa. Sebab ia tidak segan - segan berbuat tidak jujur, melukai orang, bersikap tidak adil, tega menutup mata terhadap penderitaan orang lain. Padahal semua itu pada akhirnya membuat hidup tidak bermakna penuh penyesalan."

Saturday, 2 September 2017

TOLERANSI DIMATA SAYA

Hidup dalam lingkungan yang beragam agama memang membutuhkan sedikit kepekaan untuk mengerti, merasakan, dan ikut ambil bagian dalam aktivitas keagamaan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa kita adalah makluk sosial yang berakhlak. Tentunya bahwa manusia adalah ciptaan yang lebih dari ciptaan lainnya. Manusia diberi akal budi untuk berpikir apa yang baik dan buruk. Tapi tidak semua manusia menggunakan pikiran untuk hal – hal yang baik karena pilihan itu selalu ada. Yang baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain dan sebaliknya.

Indonesia akhir – akhir ini dilanda krisis toleransi. Banyak media – media baik media massa elektronik maupun cetak hangat membicarakan toleransi. Bahkan di acara – acara seminar, atau diskusi – diskusi banyak mengangkat tema tentang toleransi. Toleransi itu sendiri sudah lama dan sudah melekat dalam darah orang Indonesia tapi mengapa baru sekarang diangkat lagi, seolah – olah itu hal baru yang harus diterapkan dalam kemajemukan Indonesia. Sebenarnya, apa itu toleransi? Apakah kita salah menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari atau apakah ‘Toleransi’ itu seperti Undang – Undang yang harus direvisi sewaktu – waktu?

Terkait hal tersebut, saya ingin bercerita sedikit tentang bertoleransi menurut versi saya. Versi bertoleransi saya sangat sederhana. Saya adalah seorang mahasiswa di Yogyakarta sekaligus sebagai anak kos – kosan. Tinggal dalam kos – kosan dimana kami berjumlah delapan anak kos yang mempunyai tiga agama yang berbeda. Saya beragama Kristen Katolik, Tri dan Jemsy beragama Kristen Protestan, Bambang, Toni, Chandra, Nanang, dan Risky beragama Islam. Kehidupan bertoleransi kami sangat tinggi walau sederhana. Hal ini terbukti lewat kami bertegur sapa, terkadang masak dan makan bersama, bermain bahkan nonton bola bersama – sama tanpa adanya sekat atau pemisah yang bernama agama diantara kami.

Lain lagi cara saya sendiri berteman terutama dengan teman - teman muslim di kos. Saya sering mengucapkan “Assalamu’alaikum” jika pergi dan pulang dari manapun karena saya tahu bahwa arti dari kalimat itu baik. Dan merekapun menjawab “Wa’alaikum Salam”. Juga kepada keluarga bapak kos, saya tidak segan – segan mengucapkan hal yang sama bila bertamu ataupun sekadar meminjam sesuatu. Bila saat azan berkumandang, saya akan menghentikan aktivitas saya sebentar, misalnya menulis, menonton, mendengar musik atau apapun itu karena saya juga harus berdoa ‘Angelus’. Selanjutnya saya mengingatkan mereka apakah sudah shalat atau belum. Sejujurnya, jika azan berkumandang bukan sikap toleransi saya yang pertama terhadap mereka, tapi hal pertama saya berpikir bahwa itu adalah doa dan pujian kepada Allah dan harus menghormati – Nya. Dan sikap toleransi kepada mereka itu adalah hal kedua. Bila hari jumat tiba, saya akan mengingatkan mereka untuk pergi Jumatan. Sebaliknya bila hari minggu tiba, mereka juga mengingatkan saya untuk pergi misa mingguan. Jika saya minta salah satu dari mereka yang ada di kos untuk mengantar saya ke gereja, mereka tidak segan – segan melakukan itu.

Satu lagi yang hampir saya lupa, yaitu mengenai puasa. Jika bulan puasa tiba, teman – teman muslim akan berpuasa. Yang mengasyikkan adalah mereka tetap memperbolehkan saya makan di dekat mereka walaupun menurut saya itu pasti mengganggu puasa mereka. Tapi mereka bilang bahwa puasa itu saatnya melawan godaan bukan menghilangkan godaan tersebut. Apakah makanan saya adalah cobaan? Jawabnya ya. Lalu apakah saya mencobai mereka? Tidak! Saya merasa bahwa inilah wujud dari toleransi yang tidak mencederai keimanan saya dan teman – teman beda agama. Kadang saya dengan Risky sering berbagi cerita tentang kitab suci masing – masing karena kami sepakat bahwa agama itu untuk disharingkan bukan untuk didebatkan.


Inilah cara - cara  saya menyikapi perbedaan dan saya sangat menikmatinya dengan senang hati. Semoga menginspirasi.

Saturday, 25 March 2017

KEKURANGANNYA BUKANLAH SEBUAH LELUCON YANG HARUS KAMU TERTAWAI

“Tak ada orang di dunia ini yang sempurna”, begitulah kalimat yang sering diucapkan orang jika dirinya merasa terjepit dalam suatu perdebatan atau jika salah mengerjakan sesuatu. Di desa, ibu – ibu sering berkumpul dan saling mencari kutu di kepala sambil bergosip menjelek - jelekkan ibu – ibu lain yang bukan partner gosipnya lalu si bapak datang dan mengatakan “Jangan suka bergosip! Ingat, manusia tak ada yang sempurna”!

Berbicara mengenai kekurangan atau ketidaksempurnaan, saya teringat dengan kaum difabel atau disabilitas. Siapa sajakah yang termasuk kaum itu? Ada orang buta, tuli, bisu, lumpuh, keterbelakangan mental, wanita malam, dan masih banyak lagi yang ditolak keberadaannya.

Saya ingin menceritakan sedikit pengalaman saya sewaktu di kampung. Di sana ada banyak saudara – saudara saya penyandang difabel. Ada yang bisu, buta, tuli, dan gila. Kebetulan salah seorang yang gila itu usianya masih muda dari saya dan tidak dipasung karena tidak mengganggu orang lain. Namanya Ferdy. Sebenarnya kurang cocok kalau saya katakan gila dan lebih tepatnya sarafnya putus dikarenakan sewaktu kecil sering sakit panas dan menyebabkan step terus menerus sampai keadaan saraf otaknya terganggu. Dia suka menyanyi walaupun seratus persen ngawur. Mungkin karena bukan gila makanya dia bisa mencari uang dari hasil nyanyiannya, mencari cabe di semak – semak yang tumbuh liar lalu menjualnya di pasar Baing yang beroperasi setiap hari rabu. Uang hasil jualannya untuk membantu ibunya yang sudah menjanda. Biasanya dia membeli keperluan dapur seperti bumbu – bumbu, sayur – mayur, atau kue untuk kakak – kakak dan adik – adiknya. Uang hasil nyanyinya lumayan banyak juga. Kadang – kadang mencapai ratusan ribu. Di samping banyak yang terhibur dengan nyanyiannya, tidak sedikit pula orang yang mengejeknya karena kotor, bau, atau mungkin karena dia beda dari orang normal pada umumnya sehingga mengata – ngatai, memaki, ataupun memukulnya.

Sebenarnya, apa itu kesempurnaan dan kekurangan? Bukankah kesempurnaan itu mutlak kepunyaan Tuhan Allah semata? Manusia bukanlah pribadi yang sempurna. Orang normal itu hanya lebih baik saja dari orang abnormal. Lalu mengapa ada ejekan, makian, cemoohan, dan cibiran? Bacaan injil tadi di gereja diambil dari injil Yohanes 9:1-41, berbicara tentang seorang buta yang disembuhkan Yesus. Saya sangat tertarik pada ayat 2-3 dari pasal tersebut yang berbunyi:
Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi supaya pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan di dalam dia”.

Di sini Yesus membetulkan pemahaman salah para murid bahwa setiap penyakit yang berat adalah akibat suatu dosa. Kadang-kadang penyakit disebabkan oleh dosa serius (Yoh 5:14), tetapi tidak selalu. Kadang-kadang penderitaan diizinkan Allah karena maksud ilahi, yaitu untuk menunjukkan kemurahan, kasih, dan kuasa Allah. Di dalam dunia sering kali orang yang tidak bersalah akan menderita sedangkan orang jahat tidak (bd. Mazmr 73:1-14). Peristiwa Yesus mencelikkan matanya menjadi salah satu bukti bahwa Yesus adalah Mesias (ayat 32-33). Sebuah kesaksian yang kuat di tengah tekanan orang Farisi yang membutakan hati dan menolak percaya. Apa kondisi yang harus ada agar pekerjaan Allah ini dinyatakan? Kita tahu jawabnya: orang ini harus terlahir buta.

Jika kita ditimpa kemalangan, kita cenderung bertanya, mengapa saya yang mengalami penderitaan ini. Kenapa bukan orang lain yang lebih jahat? Atau, andaikan orang lain yang berdosa, mengapa saya yang harus menanggung akibatnya? Pertanyaan-pertanyaan tidak terjawab ini berpotensi membuat kita makin terpuruk dalam kesedihan dan mengobarkan kemarahan karena merasa Allah berlaku tidak adil atau menghukum kita terlalu berat. Selain itu, kita mungkin kehilangan simpati terhadap orang yang kurang beruntung, menganggap sudah selayaknyalah ia menanggung derita tersebut.

Orang tua, sanak famili ataupun orang itu sendiri tidak mempunyai keinginan untuk cacat sejak lahir atau suatu saat akan cacat. Bukankah orang normal maupun orang abnormal itu sama – sama ciptaan Tuhan? Kalau mengerti tentang hal itu lalu mengapa ada cacian dan ejekan kepada penyandang disabilitas? Jika kamu salah satu orang yang suka mengolok - olok saudara – saudara penyandang disabilitas berarti kamu adalah salah satu orang yang meremehkan ciptaan Tuhan.

Saturday, 2 July 2016

CAMILAN THREE IN ONE ALA MASYARAKAT SUMBA



Setiap daerah di Indonesia mempunyai tata caranya masing – masing untuk menyambut atau menghormati tamu yang datang bertamu di rumahnya. Ada yang menghormati tamunya dengan menyuguhkan teh, kopi, atau air putih dengan penganan yang ringan. Berbeda dengan masyarakat Sumba pada umumnya. Jangan heran jika suguhan pertama berbentuk buah – buahan aneh dan bubuk putih seperti bedak bayi. Itu adalah Pahappa. Sebagai salah satu warga Sumba, saya ingin mengupas lebih dalam tentang budaya “Pahappa”.
1.      Pahappa


Apa itu “Pahappa”? Pahappa berasal dari bahasa daerah Sumba Timur, terdiri dari dua kata, yaitu: “Pa” yang berarti “Yang” dan “Happa” yang berarti “Kunyah”. Jadi, Pahappa berarti Yang Dikunyah. Pahappa itu sendiri terdiri dari buah pinang, buah atau sirih dan kapur yang merupakan sajian khas orang Sumba untuk para tamunya. Budaya mengunyah sirih – pinang memang sangat melekat pada masyarakat Sumba terkhusus di Kabupaten Sumba Timur karena merupakan warisan leluhur dari zaman dahulu dan membudaya sampai sekarang. Tradisi ini berbeda jika dilihat di daerah lain, yang mengunyah adalah ibu – ibu yang sudah tua dengan istilah “Minang”. Tetapi di Sumba Timur khususnya, dari usia kanak – kanak sampai lansia merupakan hal yang wajar dan lumrah jika mengunyah pahappa. Itu disebabkan karena disetiap rumah atau disetiap upacara adat selalu disuguhkan.
“Pangalang kaddi na ai”
“Ndau laku lii a pahappa”?
“Malla wa nyunna”.
Tiga kalimat di atas adalah contoh percakapan kecil antara kenalan atau keluarga yang menyapa karena tidak sempat singgah untuk sekadar happa dengan tuan rumah yang mempersilahkan orang itu untuk melanjutkan perjalanannya jika tidak sempat lagi untuk singgah ke rumahnya.
Pahappa memiliki beberapa lambang yang sangat penting dalam menunjang adat istiadat Sumba Timur:
a.       Sebagai Lambang Kesopanan
Sopan santun merupakan norma yang sangat penting dikalangan masyarakat Sumba pada umumnya. Tidak heran jika nenek moyang dulu mengutamakan norma sopan santun sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dengan menjaga tali silaturahim. Wujud rasa hormat itu dengan menyuguhkan pahappa. Rumah tanpa pahappa dalam masyarakat Sumba diibaratkan seperti seorang yang pergi bernaung di sebuah pohon besar. Tidak ada gunanya jika rumah mewah sekalipun tanpa “Mbola Pahappa (wadah tempat sirih - pinang)”. Ada ataupun tidak ada isinya yang penting disuguhkan sebagai tanda kesopansantunan.
b.      Sebagai Lambang Kebersamaan
“Halulu kutta peku, haranggu winnu koka”. Halulu kutta peku berarti sebatang sirih yang bernas atau pantas dan Haranggu winnu koka berarti setangkai pinang yang lebat. Jadi, artinya menandakan kebersamaan di dalam satu kesatuan.
“Kutta angu lulungu, Winnu angu helungu”. Artinya pertemanan kita seperti setangkai sirih yang wajar atau layak, kita laksana pinang yang sama-sama mekar. Maksudnya adalah sebagai masyarakat Sumba bersama - sama hidup dan saling menghidupi dan saling tolong menolong tanpa menyakiti satu sama lain.
c.       Sebagai Adat Istiadat Masyarakat Sumba Timur
Dalam setiap upacara adat masyarakat Sumba Timur baik perkawinan adat, upacara kematian, musim tanam ataupun musim tuai, selalu bertemu dengan “Camilan Three in One” ini. Telah saya katakan bahwa itu sudah merupakan budaya yang tak akan pernah hilang sampai kapanpun.
d.      Sebagai Wujud Rasa Terima Kasih
Rasa terima kasih tidak cukup hanya dengan kata – kata ataupun bualan semata. Seperti ada yang kurang jika kata – kata itu tidak disertai pahappa. Candaan sepertinya kehilangan teman setianya. Begitulah yang saya rasakan jika bertamu tapi tidak ada pahappa. Berterima kasih kepada Tuhan pun tetap mempersembahkan pahappa selain kurban dan hasil bumi yang lain. Itulah yang saya lihat jika tetua adat dalam aliran kepercayaan asli Sumba yaitu Marapu mengadakan ritual. Biasanya di bawah pohon besar atau batu besar.

2.      Wi – Ku – Ka

Ada yang pernah mendengar singkatan di atas? Sebenarnya itu adalah singkatan yang saya buat sendiri, yaitu: Winnu(pinang), Kutta(sirih), Kapu(kapur). Ketiga elemen inilah yang membentuk sebuah kata Pahappa. Pahappa tidak memberikan rasa lapar jadi kenyang, rasa haus jadi lepas dahaganya, tetapi memberikan rasa puas jika mulut kita benar – benar berwarna merah berarti kita cukup mahir untuk happa. Beberapa orang yang pertama kali mengunyah pahappa tidak lekas merah karena bila rasa sepat di mulut itu menandakan kelebihan pinang, bila rasa pedas menandakan kelebihan sirih dan bila mulut terasa panas menandakan kelebihan kapur sirihnya. Jadi, dalam mencampur itu kedalam mulut harus benar – benar seimbang. Aktifitas mengunyah pahappa berarti bukan memakan. Jelas berbeda. Memakan berarti sesuatu yang masuk ke mulut akan ditelan. Kalau mengunyah itu tidak ditelan bahkan air liurpun dibuang. Jika tertelan maka akan mengalami rasa pusing dan mual karena beberapa zat di pahappa.
Sebelum anda mencoba untuk belajar mengunyah pahappa, ada baiknya anda harus tahu apa itu pinang, sirih dan kapur.
a)      Winnu (Pinang)
Pinang dengan nama ilmiah Areca Catechu adalah sejenis palma yang tumbuh daerah pasifik seperti Asia dan Afrika bagian timur. Banyak diperjualbelikan di daerah bagian timur Indonesia. Buahnya berasa sepat di mulut ini mengandung alkaloida seperti misalnya arekaina(arecaine) dan arekolina(arecoline) yang sedikit banyak bersifat adiktif dapat merangsang kerja otak.
Sementara itu, ada beberapa biji pinang yang akan menimbulkan rasa mual dan pening apabila dikunyah. Itu dikarenakan adanya zat – zat selain di atas masih ada lagi seperti arecaidine, arecolidine, guracine(guacine), guvacoline dan beberapa unsur lainnya.
Khasiat buah pinang secara tradisional digunakan sebagai obat ramuan untuk mengobati sakit disentri, diare berdarah dan kudisan. Obat di apotek, Simplisida berbahan baku buah pinang dapat mengobati cacingan terutama untuk mengatasi cacing pita. Bijinya dimanfaatkan sebagai penghasil zat pewarna merah. Makanya tidak heran jika happa, mulut menjadi warna merah.
b)      Kutta(Sirih)
Sirih merupakan tanaman asli Indonesia yang merambat atau bersandar pada batang pohon. Tanaman ini dapat dikatakan sebagai tanaman setengah benalu karena akar rambatnya melekat pada pohon rambatannya. Buahnya berasa pedas di mulut. Tanaman ini merambat dapat mencapai tinggi 15 meter bahkan lebih. Buahnya berbentuk silinder dan panjang. Berwarna hijau segar. Daunnya tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh selang – seling, bertangkai dan mengeluarkan bau yang sedap bila di ramas.
Daunnya mengandung anti septik pencegah gigi berlubang. Minyak atsiri dari daun sirih mengandung minyak betlephenol, seskuiterpen, pati, diatase, gula, zat samak dan kavikol yang memiliki daya mematikan kuman, antioksidasi, fungisida dan anti jamur. Berkhasiat menghilangkan bau badan yang ditimbulkan bakteri.
c)      Kapu(Kapur)
Pernahkah mendengar kapur sirih terbuat dari apa? Atau adakah yang berpikir bahwa kapur terbuat dari batu kapur, atau kapur alam, ataupun dari tanah putih? Semuanya itu adalah jawaban yang salah. Lantas terbuat dari apakah kapur sirih itu?
Kapur sirih terbuat dari terumbu karang. Unik bukan? Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanthellae juga termasuk dalam jenis filum cnidaria kelas anthozoa yang memiliki tentakel. Apakah terumbu karang digiling atau ditumbuk? Jawabannya adalah tidak. Jadi, dari terumbu karang sampai menjadi kapur sirih itu mempunyai proses yang cukup panjang. Mari kita mulai!
Pertama, tanpa merusak terumbu karang yang sedang tumbuh, produsen memilih terumbu karang yang sudah rusak tapi masih cukup segar dan tidak berlumut di laut saat air surut.
Kedua, setelah sesampainya di rumah, terumbu karang dibersihkan dengan air tawar untuk membersihkan lumut dan air laut. Kemudian tiriskan atau dijemur supaya kering.
Ketiga, terumbu karang dibakar dalam sebuah wadah dengan api yang membara terus menerus sampai matang atau menjadi bubuk berwarna putih seperti bedak bayi. Jika ada yang bubuk kapur kehitam – hitaman, maka akan disisihkan setelah proses pendinginan.
Keempat, setelah dingin selanjutnya diisi kedalam wadah tertutup yang terbuat dari anyaman daun Lontar bernama “Ana Lipit”. Kemudian disimpan atau diperam supaya kualitasnya lebih bagus dan lebih panas.
Kelima, setelah melewati tahap peraman dilanjutkan dengan memasarkan ke pasar juga dapat dititip ke kios – kios terdekat. Sisahnya dikonsumsi sendiri.

Cara pembuatan kapur sirih ini merupakan cara tradisional dan merupakan home production. Belum bisa secara besar – besaran.
Dalam menulis artikel ini tentu banyak ketidaksempurnaan. Jadi, mohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca setia. Juga banyak sumber yang penulis baca selain pengetahuan dan pengalaman sendiri.
Terima kasih dan semoga bermanfaat.

AYO BERWISATA KE DESA LAINJANJI, WAIJELU, SUMBA TIMUR



Pulau Sumba terkhusus Kabupaten Sumba Timur memang terkenal dengan keindahan alam yang sangat indah. Selain masyarakatnya yang ramah, para pengunjung juga akan dimanjakan matanya dengan pemandangan alam yang sungguh eksotis. Mengapa begitu? Saat musim kemarau, padang yang banyak ditumbuhi ilalang dan semak belukar akan berubah warna dari yang tadinya hijau segar perlahan – lahan menjadi kuning kecokelatan. Jika diibaratkan seperti gadis – gadis di pantai Miami, Amerika sedang berbaris rapih menunggu pangerannya tiba dengan angin sepoi – sepoi seolah – olah para gadis itu melambaikan tangannya kepada setiap orang yang lewat di sepanjang jalan.
Setiap daerah memiliki spot – spot atau destinasi – destinasi tersendiri dengan wisata yang bermacam – macam. Misalnya, di bukit Wai Rinding menyuguhkan pemandangan yang indah dengan bukit yang menyerupai raja yang sedang tidur, di Tabundung dan Gunung Meja menyuguhkan wisata alam yaitu, air terjun, di Rende akan menikmati wisata budaya, di Pantai Kalalla dengan wisata baharinya.
Di Waijelu, tepatnya di Desa Lainjanji terdapat beberapa destinasi wisata yang sangat disayangkan jika dilewatkan begitu saja. Desa paling timur di Kabupaten Sumba Timur ini mempunyai empat destinasi wisata, yaitu tiga diantaranya adalah wisata alam dan satu wisata sejarah.Yuk, kita jelajahi satu persatu!

1        1.   Pantai Watu Parunnu

Pantai ini sudah cukup terkenal dikalangan masyarakat lokal maupun mancanegara. Setiap hari libur atau saat tahun baru, banyak wisatawan yang berkunjung ke sana. Entah ingin menghabiskan waktu libur atau juga sekadar menikmati keindahan pantainya. Dari Waingapu bisa ditempuh dengan transportasi darat baik kendaraan pribadi(mobil, motor) maupun angkutan umum(bus). Jarak yang harus ditempuh sekitar 162 km dengan infrastruktur seperti jalan sudah memadai dan dipastikan perjalanan anda akan lebih menyenangkan karena akan dimanjakan dengan hamparan padang sabana dan hewan seperti Kuda, Kerbau, Sapi yang sedang merumput di sepanjang jalan menuju kesana. Lokasinya sekitar 100 meter dari jalan raya.
Watu Parunnu berasal dari Bahasa Sumba Timur (Hillu Humba, yaitu Hillu Mangili – Waijilu) memiliki dua kata, yaitu: “Watu” yang artinya “Batu” dan “Parunnu” yang artinya “Selam”. Jadi, jika diartikan secara keseluruhan “Watu Parunnu berarti Batu Yang Dimasuki Lewat Menyelam”. Pantai Watu Parunnu memang sungguh unik karena ada batu yang menjorok ke dalam laut dan di bawahnya terbentuk secara alami berupa gua. Jika kita menuju ke barat menyusuri tepi pantai dengan tebing batu yang sangat curam menambah pesona tempat itu. Bila ingin mengabadikan momen – momen itu tentunya cuma bisa dilakukan jika saat air sedang surut. Sebenarnya 19 tahun yang lalu sewaktu saya masih SD, sepanjang tebing terdapat beberapa gua yang dipenuhi kelelawar. Sekarang gua – gua itu sudah tertutup pasir.
Aktifitas wisatawan yang ke sana beragam. Ada yang mengabadikan momen dengan berfoto ria atau yang sekarang lagi hits yaitu foto selfie. Ada yang bermain air, mandi, bermain bola atau juga sekadar menikmati curamnya tebing batu yang sangat tinggi. Untuk kuliner biasanya bawa dari rumah karena belum ada yang menjual makanan juga stand oleh – oleh belum ada satupun.
Untuk akomodasi juga belum ada di sekitar obyek wisata ini. Jika wisatawan mancanegara ingin mencari penginapan bisa didapatkan di Watu Libung Resort, sekitar 10 Km dari lokasi wisata. Tetapi biasanya wisatawan di hotel yang terdapat di Waingapu.
Terakhir, bagi siapapun yang ingin berwisata ke sana, mari bersama – sama menjaga lingkungan pantai agar tetap bersih. Jangan membuang sampah sembarangan!

2    2. Goa Nipon

Lokasi tempat wisata yang satu ini tidak jauh dari Watu Parunnu. Ikuti saja jalan lurus yang menuju kampung Woranu. Sepanjang tanjakan, Watu Parunnu akan terlihat secara jelas dan lengkap dari atas bukit.
Sekarang kita akan menjajal wisata sejarah berupa goa peninggalan Jepang. Goa ini merupakan peninggalan sejarah pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 – 1945.
Sekadar mengingat sejarah masuknya Jepang ke Sumba. Penulis melampirkan cerita singkat tentang masa kolonial.
Pasca Kolonial
Secara resmi masa pemerintahan Belanda di Indonesia berakhir pada tanggal 8 Maret 1942 dengan di tanda tanganinya penyerahan kekuasaan kepada Jepang di lapangan terbang Kalijati, Jawa Barat. Belanda takluk kepada Jepang sebagai akibat langsung kekalahan pasukan sekutu dari pasukan AS dalam paruh pertama Perang Dunia II. Masa Pemerintahan Jepang di Indonesia singkat saja, hanya 3,5 tahun, dan dalam masa yang singkat itu Jepang nyaris tak melakukan perubahan apapun terhadap sistem pemerintahan yang telah ditetapkan Belanda, hanya nama - namanya saja yang diubah ke dalam bahasa Jepang.
Pada masa pemerintahan Jepang, pulau Sumba kembali menjadi satu afdeling yang disebut Sumba Ken. Sumba Ken terbagi menjadi dua bagian yaitu Tobu Sumba Bunken (Sumba Timur) dengan ibukota Waingapu, dan Sebu Sumba Bunken (Sumba Barat) dengan ibukota Waikabubak. Militer Jepang yang hadir di pulau Sumba adalah Angkatan Laut dan Angkatan Darat, yang dikonsentrasikan pada wilayah-wilayah yang akan dijadikan lapangan udara seperti Kawangu (dekat Mau Hau), Tilikadu (Melolo) dan Kererobo (dekat Tambolaka). Untuk memuluskan pembangunan prasarana militer Jepang seperti lapangan terbang, parit dan jembatan, ribuan penduduk diwajibkan bekerja paksa dalam suasanan yang amat menekan, sehingga banyak diantara mereka yang harus kehilangan nyawa. (Pura Woha, 2008).
Seperti mulanya, akhir pemerintahan Jepang di Indonesia juga merupakan akibat langsung Perang Dunia II yang akhirnya berbalik arah, pasukan AS dikalahkan pasukan sekutu. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang dipaksa menyerah tanpa syarat setelah Amerika menjatukan bom atom di dua kota besar Hiroshima dan Nagasaki. Dengan kekalahan ini, pasukan Jepang yang berada di seantero negeri segera ditarik mundur, begitu pula dengan yang ada di Sumba. Pemerintahan Jepang segara diambil alih oleh sekutu. Rombongan sekutu yang diwakili oleh Australia masuk ke Sumba pada bulan November 1945, dan seperti yang terjadi di belahan lain Indonesia, mereka dibocengi oleh Belanda yang ingin kembali berkuasa. Namun tentu tidak semudah itu karena bangsa Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 terus mengadakan perlawanan.
Dengan niat memperlemah perlawanan rakyat dan mempermudah kontrolnya, Belanda berusaha mengkotak - kotakkan wilayah Indonesia ke dalam beberapa negara bagian, atau yang lebih dikenal dengan istilah negara - negara boneka. Salah satunya adalah Negara Indonesia Timur dan Sumba tergabung didalamnya. Tetapi bangsa Indonesia tetap kokoh menuntut kemerdekaan yang akhirnya bisa direbut kembali lewat sejumlah pertempuran dan negosiasi. Yang terbentuk setelah itu adalah Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1945) lalu Negara Kesatuan Republik Indonesia (17 Agustus 1950).
Ada pun Sumba, sebagai bagian dari republik yang baru terbentuk saat itu, senantiasa mengikuti dinamika perubahan yang terjadi. Pada awalnya Sumba merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara yang antara lain mencakup pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Alor, Pantar, Lomblen, Adonara, Timor, Rote, Sabu dan lain-lain. Lalu, seiring terjadinya pemekaran Nusa Tenggara menjadi tiga provinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, maka Sumba, dengan pertimbangan kesamaan agama mayoritas yang menjadi dasar penggolongan provinsi baru, menjadi bagian Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kala itu ada 12 Kabupaten yang tergabung dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur termasuk Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Timur. Keduanya diresmikan pada tanggal 13 Desember 1958.
Itulah sejarah singkat tentang masa penjajahan Jepang di Sumba. Goa ini merupakan bukti dan fakta sejarah yang harus dilestarikan.

3    3. Tamarin Beach

Setelah singgah sebentar di goa Jepang dan sudah mengabadikan momen ini lewat foto. Sekarang lanjut menuju ke Tamarin Beach. Perjalanan menuju ke sana cukup menahan napas bila menggunakan motor karena banyak kerikil lepas dan aspal jalan putus – putus. Tapi, selama perjalanan benar – benar tak henti – hentinya memuji kebesaran Allah Bapa pencipta alam semesta. Mulai waktu mendaki dari Goa Nipon melewati Anda Oka Kawat(Jalan Pagar Kawat) kemudian menurun yang sangat panjang menuju kampung Woranu. Keindahan pantai dilihat dari atas bukit. Birunya air laut, putihnya ombak dan hijaunya hutan menjadi lengkap ciptaan Tuhan.
Tamarin Beach bukan nama sebenarnya. Awalnya dikenal sebagai Pantai Woranu karena dekat dengan kampung Woranu. Nama Tamarin beach terbentuk karena di sepanjang pantai terdapat banyak pohon asam. Pantai ini juga tidak kalah indah dan mempesona. Dua tahun lalu pantai ini masih sepi karena jarang orang ke sana. Tapi sekarang sudah ramai. Mereka bukan wisatawan yang datang berwisata, tetapi penduduk desa Lainjanji yang ingin mengadu nasib dengan mencari “Rau Lamu”. Rau Lamu itu adalah sejenis rumput laut(bukan rumput laut pembuat agar – agar) yang kemudian dijemur lalu dijual. Dengan banyaknya masyarakat setempat yang tinggal di sana berarti kebersihan pantai menjadi tercemar. Jadi, tetap ingat menjaga kebersihan pantai.

4    4. Mata Wai Mbana

Sekarang kita berbalik arah pulang ke jalan yang sama melewati goa Jepang, Watu Parunnu dan Kampung Kamutuk Tana dan berbelok ke kiri jalan menuju ke spot wisata yang terakhir, yaitu Mata Wai Mbana. Letak wisata alam yang satu ini berada di Desa Mekar Mata Wai Mbana. Spot wisata ini mwnjadi ikon nama desa tersebut. Dari kampung Kamutuk Tana sekitar 1,5 Km jaraknya. Mata Wai Mbana terdiri dari tiga kata, yaitu: “Mata” berarti “Mata”, “Wai” berarti “Air” dan” Mbana” berarti “Panas”. Jadi, Mata Wai Mbana berarti Mata air yang mengeluarkan air panas. Sebenarnya airnya tidak panas tapi cukup hangat dan berbau belerang. Di sekitar mata air ini di pagari pohon – pohon besar yang belum terjamah oleh tangan – tangan manusia.
Konon katanya, mata air ini ada penunggunya seekor ular besar. Memang pantas jika masyarakat setempat tidak berani memotong kayu ataupun sekadar berbuat tak senonoh di tempat itu. Cukup seram juga jika mendengar cerita ini, tetapi jika niat kita cuma untuk pergi sekadar mandi, itu tidak akan terjadi apa – apa.
Menurut kata Boku Turu Rawambaku II yang merupakan tetua adat di sana bahwa itu merupakan gunung api yang sudah tidak aktif lagi. Airnya yang hangat dan mengadung belerang itu dapat menyembuhkan beberapa penyakit kulit, seperti kudis, kurap, panu, dan penyakit kulit lain asalkan secara rutin mandi di tempat itu. Selain memberikan relaksasi rasa hangat, kita bisa mengagumi keindahan ciptaan Tuhan yang luar biasa dan ditemani kicauan burung – burung di atas pohon.

Mungkin banyak orang yang bilang kalau Pulau Sumba itu gersang dan tak menghasilkan apa – apa. Perlu diketahui bahwa tak semua tempat kering dan gersang. Dibalik itu semua tersimpan sejuta keindahan apabila terus dijaga dan dilestarikan.

Sumber Gambar : Google, Youtube dan Hasil Huntingan Pribadi