Hari masih gelap menyelimuti desa terpencil dilereng gunung merapi. Burung-burung masih enggan
mengeluarkan nyanyian paginya. Yang
terdengar hanyalah suara binatang-binatang malam yang memberi isyarat bahwa
pagi akan segera tiba. Udara dingin yang
menusuk sampai tulang-tulang ini, tidak menghalangiku untuk bangun dari
tempat tidurku. Aku buka pintu kamarku
yang hanya terbuat dari kain bekas spanduk partai itu, dan bergegas keluar
rumah untuk pergi ke masjid karna adzan telah berkumandang hampir selesai.
“Bapak
tidak ke masjid, to?” Tanya seorang wanita yang belum begitu tua dengan mukena
putih yang berada di seberang jalan dan tidak
jelas wajahnya karna sinar lampu penerangan yang jauh, dan yang harus aku
panggil mbah karna strata sosial.
“ke
masjid kok mbah! masih dibelakang,
mungkin lagi wudhu! ”, jawabku dengan suara sedikit menggigil kedinginan dan
seakan tubuh ini menjadi beku karna air
wudhu yang masih membasahi muka dan kedua tanganku.
Wanita itu adalah mbah Dalimah atau orang sering memanggilnya bu kaji atau mbah Hj. Dalimah. Dia adalah seorang yang
terpandang dan dihormati di desaku. Mbah
Hj. Dalimah mempunyai seorang anak laki-laki yang seusia denganku. Tapi mungkin umurnya selisih satu tahun lebih tua
dariku, dia adalah Aji. Heru Kurniawan Aji
ialah nama lengkapnya. Dia adalah anak yang bisa dibilang nakal, hidup
bebas dalam pergaulan yang tidak baik dan kurang mempunyai sopan santun dalam
hidup di masyarakat. Sifat Aji jauh dari ibunya. Padahal Mbah Hj. Dalimah adalah seorang yang dikenal dengan kedermawanannya
dan suka menolong tanpa memilih-milih.
To,
biasa orang memanggilku. Namaku Darto, anak dari pak Sabar seorang pencari
pasir dan bu Sukini penjual tempe kedelai. Yang tinggal di sebuah desa
terpencil dilereng gunung merapi. Saya anak kedua dari tiga bersaudara. Saya
mempunyai adik Siti dan Imron. Dan mereka masih bersekolah, Siti kelas 2 SMP dan imron
kelas 3 SD. Sebenarnya Imron bukanlah adik kandungku melainkan cucu bapak dan
ibu dari kakakku yang bernama Sulastri. Imron menjadi anak yatim sejak dia
masih bayi. Ibunya meninggal saat melahirkannya 8 tahun yang lalu. Bapaknya pun
entah kemana kami juga tidak tahu. Semenjak
Imron berusia 7 bulan didalam kandungan dia pergi meninggalkan mbak Sulastri dan sampai sekarang tidak
ada kabarnya lagi. Dan sejak kematian mbak
sulastri imran dirawat bapak dan ibu. Namun begitu kami tetap menyayanginya
seperti anak dan adik kandung kami sendiri. Bahkan sampai saat ini Imron tidak
tahu bahwa dia bukan anak bapak dan ibu, melainkan anak dari kakakku mbak Sulastri. Aku juga tidak akan
memberitahunya sekarang, karna menurutku dia belum siap untuk mengetahui hal
itu.
Mbah (jawa), panggilan untuk orang yang lebih tua atau karna strata sisoal dalm
masyarakat.
Kaji (jawa), panggilan untuk
orang yang sudah menunaikan ibadah haji. Dan berasal dari kata haji.
Mbak (jawa),
panggilan untuk kakak perempuan dan wanita yang lebih tua.
“Ayo to,
kita berangkat nanti keburu siang!”, suara
bapak memanggilku dari halaman depan rumah dengan nada lantang yang sedikit
dipaksa sambil menyiapkan peralatan yang
hendak dibawa dengan tergesa-gesa.
Seperti
biasa setiap pagi saya bersama bapak berangkat
menuju sungai tempat kami biasa bekerja mencari pasir. Dirumah ibu sibuk
mempersiapkan barang-barang yang hendak di bawa ke pasar untuk berjualan tempe.
Seorang ibu tua yang sudah mulai keriput kulitnya itu, tidak mempunyai rasa
lelah untuk berjalan setiap pagi menuju pasar demi mendapatkan uang untuk
membeli beras dan membeli perlengkapan sekolah anak-anaknya. Terkadang, ibu
pulang dari pasar dengan wajah lesu karna tidak mendapatkan uang sama sekali.
Namun ibu tetap semangat “itulah resiko berjualan!”. Kata ibu untuk menyemangati
dirinya sendiri. Terkadang kalau lagi ramai dagangan yang ibu bawa habis
terjual. Tetapi kalau sedang sepi dagangan ibu tidak habis, bahkan terkadang tidak
laku sama sekali. Namun itu sudah hal
biasa bagi ibu.
“Hari
gini ngga sekolah, mau jadi apa?” suara
lantang Aji, sambil menirik kearahku. Saat
kami berpapasan dijalan, aku berangkat kerja bersama bapak dan dia akan
berangkat kesekolah bersama teman-temannya. Setelah itu dia menggembor-gemborkan
motornya dan langsung ngebut setelah menoleh kearahku. ”Mungkin maksud Aji
adalah menyindirku yang tidak sekolah seperti mereka!”. Gumanku dalam hati.
Dengan wajah tertunduk aku hanya diam. Bapak pun
juga tidak berkata apa-apa. Kami terus berjalan seakan waktu terus mengejar
untuk cepat-cepat sampai disungai.
Penghasilan
bapak yang hanya penambang pasir dan ibu seorang penjual tempe dipasar, yang membuatku harus putus sekolah
dari kelas 1 SMP. Karena tidak bisa membayar SPP dan membeli buku sekolah.
Hingga akhirnya, saya juga harus ikut membantu mereka bekerja mencari uang
untuk mencukupi kebutuhan kami sehari-hari.
Di usiaku yang bisa dibilang masih muda itu, aku harus meninggalkan bangku sekolah
untuk membantu orang tua. Tidak seperti mereka yang dapat menikmati bangku
sekolah kayak Aji dan teman-teman seusiaku. Tetapi aku tidak pernah marah
kepada orang tuaku. Aku Sadar bahwa mereka memang tidak mampu menyekolahkan aku
seperti anak-anak yang lain. Walaupun sekarang aku harus putus sekolah dan
bekerja keras membantu orang tua, tetapi aku mempunyai cita-cita, bahwa suatu
saat nanti aku dapat membiayai adik-adikku sekolah sampai SMA atau bahkan
sampai kuliah kalau bisa. Meskipun itu
hal yang sangat berat dan tidak mungkin
untuk keluarga miskin dan anak putus sekolah seperti aku. Setelah sampai
disungai kami pun langsung mulai bekerja tanpa harus duduk untuk istirahat terlebih
dahulu. Di saat kami sedang bekerja tiba-tiba bapak menghentikan pekerjaannya
dan mengatakan sesuatu padaku.
“Maafkan bapak dan ibumu ya to, karna tidak bisa menyekolahkan kamu seperti
teman-teman kamu itu,” sambil memegang
pundakku dengan suara lirih dan nafas terengah-engah karna kelelahan bekerja.
“Iya pak, ngga apa-apa, Darto ngerti kok
,” jawabku sambil memandangi butir-butir keringat yang keluar dari dahi
bapak.
“Harapan
bapak hanya kamu,Darto!”
“Bapak
sudah tua, kalau sewaktu-waktu Allah memanggil bapak, kamu harus membantu
ibumu mencari uang untuk keluarga dan
biaya sekolah adik-adikmu, ya to?,”
suara yang sedikit parau seperti menahan air mata.
Sejenak aku menghentikan pikiranku yang sedang
memikirkan sesuatu setelah mendengar perkataan bapak itu.
“Jangan
bilang begitu pak, mati itu hanya Allah yang tahu, kita tidak tahu kapan
kematian itu datang.” Jawabku dengan hati yang sedikit haru.
Kemudian aku
berajak dari tempat dudukku dan mengambil air minum dari dalam karung bekas itu
untuk bapak yang kelihatannya sangat haus. Sambil memandangi batu-batu besar
disekelilingku, hatiku terselimuti tanda Tanya. “Kenapa bapak ngomong seperti
itu?”. Gumankku dalam hati. membayangkan bagaimana bila suatu saat nanti bapak
benar-benar meninggalkan aku dan ibu,serta adik-adikku. Apakah aku bisa
membantu mencari uang untuk ibu serta biaya sekolah Siti dan Imron. Padahal
selama ini aku mendapatkan uang hanya karna membantu bapak mencari pasir, kalau
mencari uang sendiri sepertinya aku belum bisa. Disaat aku membayangkan itu
semua, tiba-tiba suara klakson mobil truk yang hendak mengambil pasir
mengagetkanku.
Tidak
terasa, hari sudah mulai sore kami pun mulai membereskan peralatan untuk segera
dibawa pulang . Dengan hanya berjalan kaki dan yang seolah tidak mempunyai rasa
lelah dengan pekerjaan seharian itu, kami terus menyusuri jalan untuk sampai dirumah.
Pagi itu
tidak seperti biasanya. Bapak yang terkadang membangunkanku untuk sholat shubuh
tidak dilakukannya. Disetengah sadarku dari tidur ini, tiba-tiba terdengar
suara lirih dari kamar bapak seperti orang
yang sedang kesakitan dan itu seperti suara bapak.
“aduhhhh………ahhh………
Aduhhhhhhhhhhh……..bu…….”
“Kenapa
perutku ini bu? rasanya ini kaya ditusuk-tusuk !” keluh bapak .
Mendengar
suara itu, aku langsung bangun dan keluar
menuju kamar bapak. Ku dapati sudah ada Siti dan ibu yang sedang
mengurut perut bapak pakai balsam. Dan ku lihat imron masih tertidur pulas di samping
pojok tempat tidur bapak yang hanya terbuat dari bambu itu.
“Bapak
kenapa bu?” tanyaku sambil melihat bapak yang sedang memegang perutnya karena
menahan rasa sakit.
“Ngga
tahu ini le, katanya perutnya sakit
kaya ditusuk-tusuk” jawab ibu dengan wajah sedikit cemas.
“Suntik
ya pak? Aku panggilakan dokter?”
tanyaku
Bapak hanya terdiam sambil menganggukkan kepalanya.
“Tapi ibu
tidak ada uang, le!” sahut ibu dan
menoleh kepadaku sambil mengulurkan tangannya.
“Darto
ada uang sedikit bu!, insyaallah cukup, nanti
kalau memang kurang aku akan kerumah mbah
Dalimah untuk meminjam uang, ” jawabku
dengan nada yang meyakinkan ibu agar tidak cemas dengan keadaan bapak.
Setelah
beberapa menit menuggu ahirnya dokter itu datang bersama pak yanto yang aku
minta tolong untuk memanggilkan dokter Edi. Dan kebetulan Pak Yanto adalah
Ketua RT di kampungku. Karena aku tidak mempunyai kendaraan untuk kerumah
dokter Edi, aku meminta tolong pak Yanto untuk memanggilkannya.
Sambil
bertanya-tanya kepada bapak tentang keluhan yang dirasakan, dokter itu
memeriksa dengan alat yang salah satu ujungnya bercabang dua dan dimasukkan
kedalam masing-masing telinga pak dokter kemudian ujung yang satunya
berbentuk bulat dan ditempel-tempelkan
di dada bapak. Entah alat apa itu aku juga tidak tahu. Maklum aku hanya sekolah
sampai kelas 6 SD, jadi tidak tahu tentang alat kedokteran semacam itu. Sesekali
dokter itu memukul-mukul perut bapak
dengan ujung jari telunjuknya sambil membungkuk. Setelah selasai memeriksa
dokter itu kemudian berbicara dengan ibu. Menyarankan untuk membawa pak Sabar,
suaminya kerumah sakit supaya mendapatkan penanganan yang lebih intensif demi
kesembuhannya. Kemudian ibu bermusyawarah
dengan pak yanto tentang hal itu. Setelah dimusyawarahkan ahirnya bapak
dibawa kerumah sakit.
Setelah
sampai dirumah sakit bapak pun langsung dimasukkan oleh perawat ke ruang UGD
untuk diperiksa. Karna kami tidak boleh masuk ke ruangan itu, akhirnya kami pun hanya menunggu diluar. Aku lihat ibu
hanya duduk diam dengan wajah cemas dan meneteskan air mata. Setelah beberapa
menit menunggu, akhirnya dokter yang memeriksa bapak keluar.
“Bagaimana
keadaan pak sabar, pak?” Tanya pak yanto sambil mendekati dokter itu.
“Pak
sabar terkena tifus, namum sudah akut, sebaiknya saya sarankan untuk dirawat
dirumah sakit untuk beberapa hari, untuk kesembuhannya!” jawab dokter itu.
Setelah berbicara dengan pak yanto dokter itupun
masuk kedalam ruangan itu lagi. Kemudian pak yanto menghampiri ibu untuk
membicarakannya. Aku juga tudak tahu apa yang dibicarakan pak yanto sama ibu,
karna aku harus mengikuti perawat yang membawa bapak kekamar pasien. Dan
setelah beberapa menit ibu menyusul. Dengan hati sedikit cemas aku bertanya
kepada ibu tetang masalah biaya rumah sakit bapak.
“Bu,
gimana nanti untuk bayar biaya bapak di rumah sakit ini?” tanyaku yang sedikit
cemas dan ingin tahu.
“Uang
untuk beli obat sementara ini dipinjemi pak yanto le, tapi untuk biaya rumah sakit katanya pakai JAMKESMAS yang juga
lagi diuruskan sama pak yanto.” Jawab ibu dengan suara lirih sambil
memijit-mijit tangan bapak.
“Alhamddulliah
kalau begitu. Semoga bapak cepat sembuh
dan segera dibawa pulang.”
“Amin.
Ow…ya. Le, mending kamu pulang dulu saja,
kasian Siti sama imron mereka dirumah sendiri, biar ibu yang jaga bapak!” Perintah ibu sambil memegang lengan tanganku
dan berdiri lalu mengajakku keluar kamar pasien.
Setelah
satu minggu dirawat dirumah sakit keadaan bapak tidak juga membaik. Semakin
hari tidak menunjukan tanda-tanda akan kesembuhannya, tetapi palah semakin
parah. Melihat keadaan bapak yang sudah tidak bisa apa-apa, akhirnya ibu memutuskan
untuk membawanya pulang untuk dirawat dirumah. Dirumah pun bapak juga
tidak menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Tiga hari sepulang dari rumah sakit, akhirnya bapak
tidak mampu lagi melawan penyakitnya dan dia pun meninggalkan kami untuk
selama-lamanya. Betapa sedihnya perasaanku ketika harus menerima kenyataan
bahwa harus kehilangan sosok seorang bapak yang yang begitu sayang dengan
keluarga, orang yang mempunyai sifat
narimo tidak pernah mengeluh pada keadaan, orang yang sangat berbakti
kepada tuhannya dan seorang yang pekerja
keras. Melihat wajah lugu Imron yang masih kecil itu yang sesekali mengusap
matanya karna menagis, hati ini tidak tega dan semakin larut dalam kesedihan.
Seorang anak yang masih sangat kecil itu dia harus kehilangan sosok seorang
bapak. Meskipun bukan bapak kandungnya bahkan bapak kandungya sendiri pun dia
tidak tahu.
Semenjak
kematian bapak aku harus bekerja lebih keras lagi mencari uang untuk membantu
ibu dan biaya sekolah adik-adikku. Aku
hanya bisa berharap mereka tidak akan merasakan apa yang saya rasakan sekarang.
Waktu terus berjalan hingga tidak terasa sebentar lagi Siti lulus SMP. Semoga saja aku bisa membiayai sekolah SMAnya
meskipun hanya diswasta yang kurang berkualitas. “Tapi dapat uang dari mana?” gumanku dalam
hati. “sudahlah, insyaalah besok Allah
pasti memberi jalan keluarnya, yang penting aku tetap harus berusaha”. Ketika
kami sedang duduk-duduk di dapur Siti berkata kepada saya.
“Mas
sebentar lagi kan Siti lulus, Setelah
lulus Siti mau bekerja saja membantu
ibu,” katanya dengan nada yang
sedikit menaruh rasa iba kepada
keluarga.
Narimo
(Jawa), menerima dengan lapang dada.
“Tidak
Siti, kamu lanjutin sekolah saja biar mas yang bantu ibu bekerja. Besok kalau
kamu sudah lulus SMA kamu boleh bantu ibu. Ya………… dengan ijazah SMA kamu itu
kan bisa mencari pekerjaan yang lebih baik di kota!”. Jawabku kepada siti.
“Tapi mas
aku kasian melihat ibu sama mas harus pontang panting mencari uang untuk biaya
sekolah Siti sama Imron?”
“Iya……….,
memang ibu sama mas kesana kemari untuk mencari uang dan itu juga untuk sekolah
kalian. Ibu dan mas hanya bisa berharap nasib kalian tidak seperti mas mu ini.
makanya kalian kalau sekolah harus bersungguh-sungguh!”.
“Tapi
mas?
“Udah Siti, kalau ibu ada uang untuk biaya
kamu lanjutin sekolah? Kamu sekolah aja! Biar kamu besok bisa kerja di kota dan
menjadi orang sukses!. Jawab ibu yang
memotong pembicaraan kami.
“Iya bener ibu tu, emangnya kamu mau menjadi
orang yang susah terus kaya mas mu ini? Yang tidak bisa bekerja dikota dan
hanya menjadi penambang pasir karna tidak sekolah?
Mendengar jawaban saya
sama ibu Siti pun hanya terdiam dan menundukkan kepala.
Sebenarnya aku tidak hanya mencari pasir. Tetapi aku juga bertani
meskipun hanya sedikit. Kebetulan bapak itu mempunyai satu petak sawah yang
sangat kecil, mungkin sebanding dengan setengah lapangan voli. Sehingga panen
yang dihasilkannya pun tidak banyak. Tetapi aku tetap semangat dan bekerja
keras untuk mengolah sawah itu. Melihat semangatku itulah yang ahirnya mbah Hj. Dalimah mempercayakan sawahnya
untuk digarap olehku. Dan mungkin karna dia juga seorang janda jadi tidak mampu
untuk menggarap sawahnya seorang diri.
Setelah
kebaikan mbah Hj. Dalimah itu ekonomi
keluarga kami semakin baik dan mempunyai sedikit uang untuk ditabung. Sesekali
saya,Siti, dan Imron menyempatkan diri untuk bermain kerumah mbah Hj. Dalimah untuk membantu
bersih-bersih rumahnya yang besar itu. Meskipun disana ada Aji yang tidak
pernah suka denganku. Entah apa yang membuat Aji begitu benci denganku. Namun
hal itu tidak menghalangiku untuk tetap datang kerumah mbah Hj. Dalimah. Hal
itu terkadang aku bicarakan sama ibu. Namun jawaban ibu selalu menenangkan
saya. “Meskipun Aji tidak menyukaimu tapi kamu jangan dendam dengannya lho le! Demdan itu ngga baik!.
Ibu
memang orang yang bijaksana. Dia tidak pernah mengajarkan kepada anak-anaknya
untuk membenci orang apalagi sampai menyakitinya. Ibu selalu mengajarkan
tentang kesabaran, kejujuran dan
bersyukur dengan semua pemberian Allah. Namun terkadang aku merasa kasihan
dengan ibu, diusianya yang setua itu dia
masih harus bekerja keras untuk menghidupi anak-anaknya. Seharusnya diusianya
yang sudah memasuki kepala tujuh itu, dia sudah berhenti bekerja.
Mengistirahatkan
badannya yang sudah mulai membungkuk dan wajahnya yang mengeriput, dan yang seakan mengatakan ini lah bukti sebuah
perjuangan keras yang telah dijalani dimasa lalunya untuk menghidupi keluarga.
Ibu juga tidak pernah mengeluh tentang kondisi keluarga yang jauh dari hidup
mapan.
Pada
suatu malam ketika aku sedang duduk-duduk dengan ibu terdengar suara Siti dari dalam
kamar yang sedang muntah-muntah.
“Kamu
kenapa Siti, sakit?” tanya ibu sambil
memijit-mijit leher belakangnya.
“Ngga bu,
Cuma perut Siti sedikit mual!” jawab Siti sambil memegangi perutnya.
“Besok
kamu ikut ibu ke Puskesmas, besok ngga usah sekolah dulu aja!”. Jawab ibu.
Setelah mengoleskan balsam
keperut Siti kemudian ibu menyuruhnya
untuk tidur. Dan aku sama ibu pun keluar dari kamar Siti.
Keesokkan harinya aku melihat ibu bersama Siti
pergi ke Puskesmas. Entah apa yang terjadi sepulang kerja dari sawah aku dapati
ibu berbaring dikamar tidurnya. Sesekali aku dengar suara ingus yang dihisap masuk kedalam hidung
dan suara tangis yang begitu lirih dan tersendat-sendat. Mendengar itu aku tak sabar lagi untuk mengetahui pa yang
sebenarnya terjadi. Aku beranikan diri untuk masuk ke kamar ibu dan bertanya.
“Bu, sepertinya ibu nangis? Ada apa bu
?” tanyaku sambil memegang tangannya
“Adikmu Darto!” jawab ibu dengan suara
parau.
“Ada apa dengan Siti bu? Tanyaku dengan wajah penasaran.
“Siti Darto? Siti hamil!” jawab ibu dengan suara yang sedikit
lantang,dan menambah keras tangisnya.
Mendengar jawaban ibu,
tubuh ini menjadi lemas tak berdaya. Aku hanya terduduk disamping ibu, rasanya
kaki ini tak mampu menahan berat beban tubuhku untuk berjalan keluar kamar.
Pikiranku membeku tanpa ada bayangan yang terlintas di otakku. Aku hanya
memandang dengan tatapan kosong jauh kesana. Harapanku telah hilang. Sebuah
cita-cita yang aku bangun dengan keringatku sendiri, telah hancur dan pupus.
“Kuncup
mawar yang layu meskipun hidupnya ditepi sungai”. Setangkai bunga yang belum
mekar dan masih kuncup sudah layu padahal hidupnya dekat sumber air. Kalau
difikir itu tidak mungkin bunga didekat sumber air sampai layu. Itulah ibarat
adikku, Seorang gadis yang masih muda usiannya tidak bisa menjaga dirinya dari kehinaan
pergaulan zaman, meskipun hidup di didik dilingkungan yang baik dan dengan unsur
agama yang kuat. Dunia ini memang kejam, Membawa orang ke lembah-lembah
kehinaan. Dalam diamku, aku hanya bisa berdoa. “Ya Allah ampunilah dosa adiku dan Jadikanlah
kami orang-orang yang sabar dan kuat dalam menerima cobaanmu, amin”.
Oleh
: Riffai