Selama berabad-abad,
posisi Sumba yang dari segi politik relatif terisolasi serta minimnya sumber
daya alam menyebabkan pulau ini nyaris tidak menarik minat dunia luar. Memang
ada sejarah panjang tentang pertukaran ide-ide dan benda material dalam jumlah
kecil di masa kerajaan Majapahit. Sumba pernah pula disebut sebagai tanah
jajahan, tapi pada kenyataannya tidak ada pengaruh atau kendali berarti dari
daerah lain yang berkuasa terhadap wilayah ini. Bima di Sumbawa serta Ende di
Flores melakukan barter dan ada sedikit pengaruh budaya, tapi tidak ada kontrol
politik terhadap bangsawan-bangsawan yang berkuasa di Sumba.
Selanjutnya datang
bangsa Portugis yang ingin menancapkan kekuasaan dan menguasai perdagangan.
Dalam penelitian yang dilakukan Joanna Mross di Wanokaka, yang ia tuangkan
dalam makalah berjudul Settlements of The Cockcatoo: From Substansce to Style
(1994-95), warga kampung Waikawolu Wawa dan Praigoli masih mengingat
cerita-cerita tentang serangan Portugis terhadap Wanokaka pada tahun 1819.
Mereka menyerbu sejumlah kampung, menghancurkan batu-batu kubur besar milik
para bangsawan dan membawa para tawanan untuk dijual sebagai budak. Dengan
pengalaman pertama yang begitu buruk tak heran jika bangsa Barat beserta agama
dan perdagangannya umumnya ditolak oleh masyarakat Sumba. Pada awal abad ke 18,
giliran VOC yang melakukan sejumlah perdagangan dengan penduduk Sumba melalui
perantara orang – orang Ende dan pada akhirnya menancapkan kekuasaannya di
Sumba bagian tenggara melalui para bangsawan feodal.
Jauh sebelum munculnya
kedudukan Belanda di pulau Sumba, pada tahun 1756 pernah dilakukan kontrak
dagang antara Komisaris Paravicini dengan 48 raja di daratan Timor, Alor,
Flores, Solor, juga Sumba. J. A. Paravicini adalah Komisaris Tinggi VOC Belanda
yang diutus Pemerintah Pusat di Batavia untuk menyelidiki kebenaran berita yang
mengatakan bahwa Portugis dan Perancis hendak menyerang Timor dan pulau-pulau
di sekitarnya, juga untuk memperbaharui perjanjian VOC dengan raja-raja di
kawasan itu. Kontrak itu dilakukan pada tanggal 9 Juni di Kupang. Ada 8 orang
raja Sumba yang ikut termuat dalam perjanjian tersebut, namun mereka tidak
hadir secara fisik, perjanjian tertulis itu ditandatangani oleh Raja Mangili
yang kebetulan berada di Kupang dan mengajukan diri untuk menandatangani kontak
mengatasnamakan raja-raja lainnya. Akan tetapi raja Sumba yang lain kemudian
menolak perjanjian itu karena mereka merasa bukan bawahan raja Mangili.
Sebetulnya kontrak dagang tersebut bukan semata-mata menyangkut persetujuan
dagang yang memberi monopoli kepada Belanda tapi sekaligus suatu pasal politik
dimana para raja itu mengakui kedaulatan raja Belanda atas wilayah
pemerintahannya. Dengan menandatangani kontrak tersebut berarti secara de jure
wilayah dan pemerintahan mereka berada dibawah pemerintah kolonial, walaupun
secara de facto raja-raja tersebut tetap berdaulat ke dalam, lebih-lebih di
Sumba yang jauh dari jangkauan komunikasi (Umbu Pura Woha, 2008).
Meskipun tidak pernah
menginjakkan kaki di Pulau Sumba, Paravicini memberikan gambaran yang sangat
positif tentang pulau itu. Namun Pemerintah Pusat tidak percaya begitu saja
sehingga mengirim seorang pejabat lain, yaitu Opperhoofd Beijnon, untuk
menyelidiki keadaan di Sumba. Laporan Beijnon mengatakan Sumba tidak aman
karena sering terjadi perang antar suku tapi ada potensi cendana, hamba bermutu
baik, arang serta kapas. Setelah itu pemerintah pusat beberapa kali lagi
mengirimkan utusannya ke pulau Sumba. Namun sesudah tahun 1775 tidak ada lagi
berita tentang Sumba.
Baru pada tahun 1838,
ketika sebuah kapal Inggris terdampar di Lamboya Pemerintah Belanda kembali
menaruh perhatian terhadap Sumba. Muatan dan awak kapal yang terdampar itu
dirampas, walau pada akhirnya para penumpang kapal yang menjadi tawanan
berhasil melarikan diri ke Makasar dengan menggunakan perahu Ende. Bukti
peninggalan kapal Inggris yang karam itu, berupa jangkar kapal yang dalam
istilah lokal disebut watu kanaga tena hingga kini masih ada di Lamboya,
tepatnya di kampung Malisu.
Setelah mendengar
kejadian kapal karam itu, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia yang khawatir
kalau-kalau Inggris menduduki pulau itu, memerintahkan Residen D.J. Van den
Dungen Gronovius pergi ke Pulau Sumba untuk melakukan penyelidikan serta
menetapkan cara untuk menguasai pulau tersebut. sang Residen mengutus seorang
keturunan Arab bernama Syarif Abdulrahman bin Abubakar Algadrie mewakili
dirinya. Setelah bertandang ke Sumba, Syarif Abdulrahman bin Abubakar Algadrie
melaporkan terbuka peluang besar untuk menguasai Pulau Sumba. Syarif Abdulrahman
bin Abubakar Algadrie lantas diangkat sebagai wakil dagang pemerintah, ia
menetap di Sumba dan berdagang hewan dengan modal dari Residen. Dari hasil
perdagangan itu Syarif Abdurrahman bin Abubakar Algadrie mendapatkan keuntungan
besar. Pada tahun 1843 ia mendirikan kota Waingapu dan berhasil mengembangkan
kota itu menjadi salah satu pelabuhan dagang penting di luar pelabuhan Kupang
(Oe.H.Kapita1976). Walau telah menempatkan wakil dagangnya di pulau Sumba,
Pemerintah Belanda belum tertarik untuk menduduki pulau itu, baru pada tahun
1866 pemerintah menempatkan Samuel Roos sebagai Kontrolir di Waingapu. Ia
adalah kontrolir pertama di pulau Sumba yang berhasil menjalin hubungan baik
dengan penguasa dan penduduk setempat.
Di mata penguasa
Belanda, Pulau Sumba dianggap sebagai pulau yang tidak aman karena banyak
terjadi perang antar suku dan perdagangan budak. Oleh karena itu penguasa
Belanda berupaya melakukan penertiban dan pengamanan. Pemerintah Belanda
akhirnya mulai mengambil langkah-langkah untuk mengamankan kehidupan di pulau
Sumba. Di tahun 1879 pada saat B. E. J. Roskott menjabat sebagai kontrolir di
Sumba, diusulkan agar ditempatkan dua Post Houder (Pos Penjagaan) di Pulau
Sumba. Di Mamboro untuk Sumba Barat dan di Melolo untuk Sumba Timur. Usul itu disetujui,
lalu Ehrich ditempatkan di Mamboro dan F. Sick di Melolo. Dalam tahun itu juga
pulau Sumba dibagi menjadi dua wilayah (onderafdeling) yaitu Onderafedeling
Sumba Timur berpusat di Melolo dan Onderafedeling Sumba Barat berpusat di
Mamboro. Menurut laporan Ehrich saat menjabat Post Houder Mamboro, wilayah
(landschaap) Sumba Barat meliputi: Mamboro, Laura, Kodi, Wewewa, Tana Maringi,
Lolina, Wanukaka, Lamboya, Anakalangu, Pondaku, Tana Righu dan Palamodu.
Kekuasaan Belanda pada
paruh pertama abad ke 19 sebenarnya tidak bersifat interventif dan tidak
menyukai operasi militer yang memakan biaya dan resiko adminis swapraja-
swapraja ini dipimpin oleh seorang Kepala Swapraja yang lebih sering disebut
raja. Kekuasaan mereka disahkan oleh Penguasa Belanda melalui penandatanganan
kontrak korte verklaring, dimana masing-masing raja diberi tongkat kebesaran
(tokko) serta secarik bendera sebagai tanda kekuasaan. Raja yang mendapat
pengesahan dari pemerintah Belanda harus mengakui kedaulatan penguasa Belanda
dan salah satu tugas pentingnya adalah menarik pajak.
Dalam buku Sejarah
Perjuangan Benaka Hurka dan Tadu Moli Melawan Belanda di Lamboya (2010)
Munandjar Widyatmika, dkk menulis bahwa di Sumba Barat kebijakan pajak
diberlakukan mulai tahun 1910. Pajak ditarik melalui para kepala desa dalam
bentuk pajak kepala dan pajak ternak. Ada pula pajak ekspor impor yang
ditetapkan di setiap pelabuhan. Kebijakan pajak ditetapkan setelah raja yang
bersangkutan menanda tangani kontrak korte verklaring S dan kontrak pajak. Kontrak
pajak disebut verklaring betreffende belastingheffing. Walaupun tidak semua
raja menandatangani kontrak pajak namun dengan adanya kontrak korte verklaring
maka setiap kerajaan dianggap mempunyai kewajiban membayar pajak. Sebagai
imbalannya setiap raja dan wakil raja diberi gaji oleh Belanda. Kontrak
pemberlakuan pajak menyebabkan rakyat menderita. setiap penduduk dewasa wajib
membayar uang pajak, dan karena pada waktu itu uang tunai belum beredar di
kalangan masyarakat pedesaan maka pajak dipungut dalam bentuk barang seperti
beras, kerbau, kambing, domba, babi, ayam dan telur. Baru beberapa tahun
kemudian digunakan uang logam. Beban pajak yang berat pada akhirnya memicu
berbagai gerakan perlawanan rakyat terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Di
Sumba Barat gerakan perlawanan terjadi sebanyak dua kali yakni, perang Malisu
pada tahun 1911 dan perang Tadu Moli tahun 1914. Keduanya berlokasi di Lamboya,
dipelopori oleh beberapa Suasana saat penarikan pajak oleh Pemerintah Belanda
trasi. Politik Pasifikasi kala itu lebih ditekankan untuk menegakkan ketertiban
melawan anarkhi dan memperkuat wibawa raja-raja setempat. Menciptakan orde,
rust en welvaart (tertib, aman dan sejahtera) tanpa menyingkirkan kepemimpinan
raja setempat untuk mempermudah pembentukan pemerintahan sendiri (zelf bestuur)
yang direstui Belanda. Namun pada tahun 1890-an muncul semangat ofensif baru
untuk menegakkan citra kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jendral
Van Heuts menyebut semangat baru ini dengan istilah membangunkan wilayah Timur
Besar dari tidur lelap Raya (de Moor, 1989). Pada tahun 1904 van Heutz
mengeluarkan kebijakan Buitengewesten. Dalam kebijakan ini Pemerintah Belanda
menaruh perhatian terhadap wilayah-wilayah di luar Jawa terutama yang belum
ditaklukkan oleh Belanda. Alasannya berkesan etis tapi tujuan sesungguhnya
adalah untuk membenarkan ofensif militer di wilayah pedalaman. Dengan dalih
menegakkan kewibawaan, memberantas perbudakan dan menghentikan perang antar
suku, pemerintah Belanda melakukan berbagai upaya mempercepat penaklukkan di
wilayah-wilayah luar Jawa termasuk wilayah Keresidenan Timor dan Daerah
Taklukannya.
Menindaklanjuti
kebijakan Buitengewesten di keresidenan Timor tersebut, Pemerintah Belanda
mulai melakukan penaklukan seluruh Pulau Sumba. Kebijakan pengamanan
Pemerintahan kolonial ini dipimpinan Letnan I Rijnders sebagai Gezaghebber
Sipil dan Militer Pulau Sumba yang berkedudukan di Waingapu. Pengamanan Pulau
Sumba berlangsung selama enam tahun yakni dari tahun 1906-1912. Dalam upaya
memperluas wilayah kekuasaan di Sumba Barat, Pemerintah Belanda menempatkan
Post Houder di dua tempat. Satu di Mamboru dibawah pimpin Sersan Abbenk dan
satu lagi di Waikabubak dibawah pimpin Letnan de Neeve.
Selanjutnya dilakukan
penataan pemerintahaan dengan menggabung kerajaankerajaan yang ada mejadi:
Kerajaan Loura, Kerajaan mamboro, Kerajaan Kodi dan Kerajaan Wewewa.
Pemerintahan Belanda di pulau Sumba kemudian diserahkan pada A.J.L. Couvreur
sebagai Pemerintah Sipil dengan status sebagai Kontrolir, kemudian diangkat
sebagai Asisten residen Sumba. Pada masa pemerintahannya, pulau Sumba
ditetapkan sebagai satu afdeeling dalam Keresidenan Timor dan Daerah
Taklukannya, dan dibagi menjadi Onder Afdeeling Sumba Timur dengan ibu kota
Melolo, Onder Afdeeling Sumba Tengah dengan ibu kota Waingapu, Onder Afdeeling
Sumba Barat Utara dengan ibu kota Karuni, dan Onder Afdeeling Sumba Barat
Selatan dengan ibu kota Waikabubak. Pada tahun 1922 Onder Afdeeling Sumba Timur
dan Onder Afdeeling Sumba Tengah digabung dalam Onder Afdeeling Sumba Timur
dengan ibu kota Waingapu, sedangkan Onder Afdeeling Sumba Barat Utara dan Onder
Afdeeling Sumba Barat Selatan digabung menjadi Onder Afdeeling Sumba Barat
dengan ibu kota Waikabubak (Widyatmika: 2010).
Pada masa pemerintahan
Belanda, pulau Sumba terbagi kedalam 16 kerajaan dengan pemerintahan yang
berbentuk swapraja. Tujuh diantaranya terletak di Sumba Timur dan sembilan
lainnya di Sumba Barat, yaitu: Kerajaan atau Swapraja Kodi, Laura, Wewewa,
Laboya, Anakalang, Wanokaka, Memboru, Loli, dan Umbu Ratu Nggay.
Gambar : Tokoh
tradisional antara lain Benaka Hurka dan kawan-kawan di Malisu serta Tadu Moli
dan kawan-kawan di Sodan.
Untuk mendapatkan
kepastian pembayaran pajak, pemerintah Belanda memerlukan kepastian jumlah
penduduk dewasa dan kepastian penduduk suatu desa. Maka Belanda pun mulai
melakukan sensus penduduk di beberapa tempat, serta resetlement penduduk dari
pegunungan ke lokasi di bawahnya atau di dekat jalan raya untuk memelihara
perbaikan jalan. Pembangunan jalan kala itu berorientasi pada kepentingan
militer dan pertahanan sehingga diberlakukan sistem kerja rodi untuk membangun
jalan yang disebut heredientens. Dalam satu tahun seorang lelaki dewasa
dikenakan kerja rodi sekitar 35 hari. Sering kali lokasi kerja rodi berjauhan
dengan tempat tinggal mereka sehingga dianggap sangat merugikan dan
menyengsarakan penduduk. Sedangkan sensus penduduk berlaku sangat variatif.
Pada tahun 1863 telah ada sensus penduduk di pulau Rote. Namun secara umum
sensus penduduk mulai diperkenalkan di keresidenan Timor pada tahun 1930.
Melalui Sumba Kontrak,
pemerintah Belanda juga memperkenalkan sapi ongole di Sumba yang diberikan
secara bergulir dalam bentuk sistem kopel. Biasanya satu paket terdiri dari 8
betina dan 1 ekor pejantan. Jika di lokasi yang bersangkutan sudah berkembang,
maka ternak tersebut didistribusikan lagi ke tempat lain dengan sistem yang
sama. Biasanya distribusi dilakukan di lokasi para bangsawan yang memiliki
padang penggembalaan. Kebijakan perbaikan kesejahteraan masyarakat ini seolah-olah
Belanda berbaik hati melaksanakan kepentingan rakyat. Tetapi sebenarnya
menyangkut kepentingan penguasa Belanda sendiri. Sebab kalau pendapatan para
petani berkembang maka upaya membayar pajak untuk kepentingan Belanda
diharapkan berjalan lebih lancar karena penduduk memiliki uang untuk membayar
pajak tersebut. Untuk meningkatkan kesehatan penduduk nantinya juga dilakukan
kegiatan imunisasi cacar bagi penduduk. Kegiatan imunisasi cacar di Timor
diperkenalkan oleh residen J.A.Hazaart.
Pada tahun 1913 wilayah
Sumba Barat dibagi dalam dua bagian yakni: Sumba Barat Laut meliputi Loura,
Mamboro, Kodi, Mba Ngedo, dan Wewewa dengan ibu kota di Karuni. Dan Sumba
Selatan Daya meliputi Lolina, Wanukaka, Lamboya, Anakalang dan Lawonda dengan
ibu kota di Waikabubak (Kapita, 1976).
No comments:
Post a Comment