Pulau Sumba, anda tahu
dimana? Sebuah pulau di jajaran kepulauan di Nusa Tenggara Timur, nun jauh
disana. Penulis ingat karena dulu waktu di Sekolah Dasar suka pelajaran ilmu
bumi, dan selalu ingin melihat pulau-pulau itu langsung. Baru kali ini
kesampaian. Sebelum dikunjungi bangsa Eropa pada tahun 1522, Sumba dikuasai
oleh Kerajaan Majapahit Sejak 1866, pulau ini dikuasai oleh Belanda dan
selanjutnya menjadi bagian Indonesia.
Pulau Sumba luasnya
10.710 km², dan titik tertingginya Gunung Wanggameti 1.225 m. Sumba berbatasan
dengan Pulau Sumbawa di sebelah barat laut, Pulau Flores di timur laut, Pulau
Timor di timur, dan Benua Australia di selatan. Sumba memiliki 4 kabupaten :
Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Kota terbesarnya
adalah WaIingapu ibukota Sumba Timur.
Wilayah Sumba Timur
memiliki motto : “Matawai Amahu Pada
Jara Hammu” artinya kurang lebih Mata
Air Di Padang Yang Bagus Untuk Peternakan Kuda, sedangkan Sumba Barat “Pada Eweta Manda Elu”, artinya “ Padang
Rumput Yang Hijau”.
Kunjungan penulis kali
ini sebetulnya adalah untuk melihat stasiun repeater radar di KM 16 Waingapu.
Kami harus datang melalui Kupang, karena penerbangan langsung dari Ngurah Rai
Bali ke Waingapu hanya beberapa kali dalam seminggu.
Pesawat Boeing B737
Batavia Air yang kami tumpangi mendarat mulus dari runway 15. Selamat datang di
Bandara Mau Hau eh sekarang menjadi Umbu Mehang Kunda. Kebetulan Kepala Bandara
Udara Bpk. Heronimus Obe Topan, bersama kami satu pesawat.
Setelah istirahat
sejenak, kami naik ke menara pengawas ingin melihat bandara ini dari atas
Tower. Runway bandara 1850 X 30 M ini, menjadi saran vital yang menghubungkan
Sumba dengan wilayah sekelilingnya. Bukit Padadita terlihat memanjang memotong
jalur landasan di ujung runway 15. Bukit Padadita ini tingginya 50 m, dan
terletak 350 m dari ujung landasan. Jadi, anda dapat membayangkan bahwa pilot
harus segera menurunkan ketinggian pesawat, begitu melewati bukit ini.
Slope-nya 3% jadi cukup riskan sebetulnya. Pantas tadi waktu mendarat pesawat
terasa agak drop, turun dengan tiba-tiba.
STASIUN
REPEATER RADAR
Kemudian kami langsung
menuju ke stasiun repeater radar, diantar oleh Purwadi teknisi radar yang
menjaga dan mengoperasikannya. Stasiun ini berfungsi sangat vital untuk
memperkuat data dan menggabungkan (interface) data radar pengaturan lalu lintas
udara di wilayah Bali, Makassar dan Nusa Tenggara Timur. Jadi, jika repeater di
sini tidak ada, maka ada blank spot di wilayah NTT, dan ini sangat mempengaruhi
pelayanan lalu lintas udara di wilayah timur-selatan Indonesia.
Stasiun repeater ini
dioperasikan sejak tahun 1997 dan beroperasi dengan baik sampai sekarang.
Selama 13 tahun radar head ini terus berputar tanpa berhenti. Antena radar ini
hanya sempat berhenti selama 3 hari tahun 1998, pada waktu pemeliharaan. Lokasi
antenna radar ini di KM 16 dari Waingapu ke arah Makaminggit, terletak diatas
bukit di tepi tikungan jalan. Sekelilingnya bukit-bukit, sebuah antenna BTS
Telkomsel di sebelah timurnya.
Penulis naik ke atas
antena radar dan di kejauhan tampak teluk Waingapu. Dari atas ketinggian ini,
bukit-bukit yang gersang tampak mulai menghijau, beberapa ekor kuda tampak
merumput diatasnya. Pantaslah kalau kuda Sandalwood sangat terkenal dikembang-biakkan
disini, alamnya memang sangat mendukung. Motto Sumba Timur : Matawai Amahu Pada
Njara Hamu yang artinya : Mata Air Di Padang Rumput Savana Untuk Kuda Yang
Bagus, menjadi sangat relevan dan nyata.
Purwadi bercerita bahwa
lokasi radar ini dihuni oleh mahluk halus, dia meminta kami berdoa sebelum naik
keatas radar head. Waktu itu tahun 1998, ada pekerjaan pemeliharaan pengecatan
radar head ini. Ketika sedang mengecat, seorang pekerja – Wito, merasa bahwa
burungnya (maaf) kesemutan. Dan ketika dibuka, burungnya memang benar-benar
hilang! Untunglah setelah 6 jam kemudian burungnya bisa kembali lagi.
Tanpa sadar penulis
meraba celana, dan bersyukur untunglah masih ada! Kalau tidak, bisa bahaya
nih!. Dia juga bercerita, Pak Suditha dari Bali kalau datang ke sini selalu
membawa ayam panggang dan ditaruh di sebuah pojok. Ketika dia kembali lagi
untuk sekedar melihatnya; ayam panggang itu sudah lenyap. Anehnya, kalau yang
membawa ayam Purwadi sendiri, nggak pernah hilang. Tetap utuh. Nah lu. Beda
rasanya barangkali ya?
Terimakasih dan
penghargaan yang tinggi kepada Purwadi Teknisi Elektronika RTR 32, lulusan
Curug tahun 1994. Di tempat terpencil ini, dia bersama beberapa teknisi menjaga
dan memelihara peralatan ini dengan baik dan tetap beroperasi setiap hari
non-stop, selama 13 tahun! Tanpa mereka sudah pasti pelayanan navigasi
penerbangan di Bali dan wilayah Timur Indonesia, kurang optimal.Penulis
mengusulkan agar lokasi ini diberi nama saja. Jangan hanya KM 16, tetapi diberi
nama sesuai lokasinya. Awalnya, karena disini sulit air penulis sarankan
namanya Wai Harui (air sulit). Purwadi kemudian mencoba mencari nasehat dari
para tetua adat. Dan karena lokasinya di sebuah ketinggian dengan pandangan
yang luas, maka namanya diusulkan : Ngadu Mbulu (pandangan luas). Penulis
meyakinkan Purwadi agar segera mengubah nama KM 16 menjadi Ngadu Mbulu.
Mudah-mudahan Purwadi segera meresmikan nama ini.
Sore hari kami
meninggalkan lokasi ini. Dan menginap di hotel Evlin.
Besok paginya jam 8
pagi Umbu Putra sudah menjemput kami di hotel. Kami akan meneruskan perjalanan
ke Tambolaka Sumba Barat Daya. Di sebuah pertigaan di kilometer nol Waingapu,
kami berhenti sebentar. Ambil beberapa foto di pertigaan ini.
Dan di dekat peritgaan
ini ada ibu-ibu menjual nasi kuning, semacam Nasi Jenggo di Bali. Iseng iseng
penulis membeli 3 bungkus, sekedar ingin membandingkan rasanya dengan Nasi
Jenggo Bali. Iseng yang ternyata menjadi sangat bermanfaat.
DESA
ADAT PRAILIU
Umbu Putra mengantarkan
kami ke desa adat Prealiu. Untuk melihat adat istiadat dan kehidupan suku
Sumba. Desa Praeliu, kami meminta ijin untuk masuk ke rumah adat. Seorang
kepala keluarga menemui kami dan menjelaskan tentang rumah adatnya.
Bersyukurlah kami datang bersama dengan Umbu Putra, rekan kami yang berasalah
dari Waikabubak. Dia punya teman dan kerabat di desa ini, sehingga kami dengan
mudah masuk ke rumah mereka dan mendapat perlakuan yang bersahabat.
Umbu
Putra
Masyarakat Sumba kuno
menjalankan kehidupannya dengan sebuah keyakinan yang dikenal sebagai Marapu. Mereka
menguburkan jasad nenek moyangnya yang sangat dihormati dengan membuat batu
kubur di depan rumah mereka. Batu kubur ini sering kali lebih bagus dan terawat
dibandingkan dengan rumah mereka sendiri. Ini salah satu bentuk penghormatan
kepada nenek moyangnya. Selain itu, batu kubur barangkali menjadi lambang
status. Semakin bagus batu kubur seseorang, menunjukkan gengsi dan status
seseorang di masyarakatnya.
Rumah adat Sumba diberi
nama “umma” Dan setiap uma memiliki nama berdasarkan status sosial penghuninya.
Untuk rumah orang kebanyakan dinamakan “umma marapu manu” untuk pemimpin
pemukiman “umma rato”, ketua adata “ummadelo” dan bangunan untu bermusyawarah
“uma wawine”
Umma merupakan bangunan
yang memiliki atap tinggi dibagian atas, dan bagian bawahnya dibuat landai.
Mirip-mirip dengan rumah joglo di Jawa. Atap yang menjulur jauh ke bawah
membuat dinding Uma hampir tidak kelihatan. Bubungan atap digunakan untuk
menyimpan bibit tanaman dan bahan makanan dinamakan “uma dalo”, dibawahnya
tempat menyimpan makanan sehari-hari “pedalolo”. Di bawahnya lagi adalah ruang
tidur “katendeng”.
Bagian terbawah dari
uma adalah “katonga tana” yang berfungsi sebagai balai tempat pijakan kaki
sebelum memasuki rumah. Bagian bawah bangunan berbentuk panggung dengan teras
yang tidak berpagar. Dindingnya berupa jajaran kayu yang bertumpuk-tumpuk
diletakkan horizontal.
Jadi rumah adat Sumba
terbagi menjadi 3 bagian : Toko Umma (bagian atap) berbentuk menara yang tinggi
untuk menyimpan benda-benada pusaka Marapu dan menyiman hasil panen. Bei Umma
(ruang hunian) ruangan ini tidak menyentuh tanah, berlantai bambu dengan
beranda yang cukup luas. Kali Kabunga (kolong rumah) digunakan sebagai kandang
ternak.
Sebentar kemudian kami
sudah selesai, dan keluar rumah adat ini. Dan beberapa ibu-ibu segera datang
dan menggelar kain-kain khas Sumba yang mereka tenun sendiri menawarkan untuk
dibeli. Motifnya sangat khas Sumba dengan warna-warna yang terang dan menarik.
kami pun membeli beberapa lembar sekedar untuk kenang-kenangan. Mereka walaupun
terkesan diam dan dingin, tetapi cukup ramah dan tidak memaksa. Tidak seperti
kebanyakn di lokasi wisata. Jika kita tidak membeli kain yang mereka tawarkan
pun tidak apa-apa. Hanya saja cukup sungkan juga ketika ada yang seorang bapak
yang menawarkan kain berukuran besar, sampai menggantungkannya harus pakai
galah. Harganya ? Rp. 3 juta. Mahal? Barangkali kalau memperhatikan prosesnya,
yang memakan waktu berbulan-bulan, enggak juga.
MENUJU
TAMBOLAKA
Kami meneruskan
perjalanan. Endo Prabowo dan Purwadi menjemput kami, karena Umbu Putra ada
urusan sedikit, dia akan menyusul kemudian. Jam 9 pagi pagi yang cerah, mobil
diesel Everest membawa kami ber 5 dengan sopir, meninggalkan Waingapu menuju
Tambolaka.
Kita tahu, Tambolaka
menjadi terkenal, karena peristiwa mendaratnya pesawat Adam Air yang salah
navigasi. Kejadian ini menghebohkan dunia penerbangan internasional. Kesalahan
pilot dan ATC yang kurang cermat memantau rute penerbangan Adam Air, membuat
kejadian ini menjadi stigma bagi dunia penerbangan Indonesia. Tambolaka berada
di Sumba Barata Daya, kira-kira 175 km dari sini.
Menjelang ke luar
Waingapu kami melewati sebuah jalan yang diberi nama Jenderal Soeharto. Hebat
juga. Barangkali Waingapu adalah satu satunya daerah yang berani memberi nama
jalan dengan nama ini. Kita tahu, Bapak Pembangunan ini pada akhir kekuasaannya
banyak di cerca dan dikucilkan. Waingapu ternyata menghargai beliau dan cukup
berani memberi nama jalan protokolnya dengan nama : Jenderal Soeharto. Gedung
DPRD Waingapu yang megah dan terletak di pebukitan terletak di jalan ini.
Mobil Everest kami
bergerak dan meninggalkan Waingapu. Pintu gerbang kota Waingapu dijaga dengan
megah oleh dua buah patung penunggang kuda mengawal gerbang ini di kanan-kiri
jalan dua jalur yang beraspal mulus. Dibawahnya beberapa pasang muda-mudi asyik
memadu kasih. Jalan-jalan di Waingapu mulus karena dibuat di atas karang yang
keras, karena base nya kuat dan keras jarang terjadi kerusakan.
Di sebuah belokan,
ditepi sebuah tebing yang curam pemandangannya begitu menarik sehingga membuat
kami berhenti dan mengambil beberapa buah foto. Dari atas ketinggian ini, di
ujung pandangan, garis pantai melengkung membentuk teluk, dan disitulah bandara
Waingapu terletak. Namanya sekarang Bandara Umbu Mehang Kunda, sayangnya nama
ini belum masuk dalam catatan organisasi penerbangan sipil internasional ICAO.
Di kilometer 13 ketika
mobil kami berada di bukit karang yang di belah untuk membuat jalan. Tiba-tiba
indikator panas mobil naik, dan sopir kami menghentikan mobil dan parkir
dipinggir jalan. Wah bagaimana ini ?
Tenang saja, berhenti
sebentar. Saatnya sarapan lagi. Dan kami pun membuka nasi bungkus yang kami
beli tadi. Sambil menunggu mesin dingin kami duduk di pinggir jalan, di bawah
sinar matahari pagi, kami menikmati nasi kuning khas Waingapu. Asyik. Dan
Purwadi pun sibuk motret kami yang sedang makan.
Setelah selesai, ajaib
mesin sudah dingin padahal tidak diapa-apakan. Kemudian ketika mobil kembali di
start semuanya berjalan dengan normal. Mobil pun berjalan lancar diatas jalan
beraspal hotmix yang mulus. Kami membelok melewati KM 16 - Ngadu Mbulu -
stasiun repeater radar yang kemarin sore kami lihat.
Di kejauhan beberapa
kuda tampak merumput di bukit-bukit yang mulai menghijau. Kuda Sandalwood yang
terkenal itu. Kuda-kuda yang dibiarkan liar. Penulis bertanya bagaimana caranya
mengembalikan kuda-kuda itu ke dalam kandangnya? Barangkali itulah mengapa
keahlian menunggang kuda, menjadi sebuah pertunjukkan menarik dalam tradisi
Pasola. Adu ketangkasan kuda dengan melempar lembing.
Bukit bukit hijau
kekuningan yang hanya ditumbuhi rumput itu seakan menjelaskan makna dari “Matawai
Amahu Pada Jara Hammu” - Mata Air Di Padang Yang Baik Untuk Kuda …
Selamat tinggal Waingapu …
Salinan Dari
Internet
No comments:
Post a Comment