Sunday 15 June 2014

SEJARAH ORANG SUMBA

A.   Sekilas Asal-Usul Orang Sumba
Berdasarkan cerita-cerita dari generasi ke generasi menyatakan bahwa orang sumba berasal dari Malaka Tana Bara (semenanjung Malaka)  berlayar ke Sumba melalui Hapa riu-Ndua Riu, Hapa Njawa-Ndua Njawa, Rukuhu-Mbali, Ndima –Makaharu, Endi-Ambarai, Enda-Ndau, Haba—Rai Njua dan terakhir mendarat di Haharu Malai Kataka Lindi Watu. Hal ini juga sejalan dengan asal usul bangsa indonesia pada umumnya.
Menurut Wohangara dan Ratoebandjoe dalam Woha (2008:40) menyatakan bahwa: pendaratan para leluhur itu diatur strategi seakan-akan mau melakukan pengepungan terhadap tana Humba sebagai berikut:
a)   Rombongan I mendarat di Haharu Malai Kataka Linndi Watu.
b)     Rombongan II mendarat di La Panda Wai Mananga Bokulu.
c)  Rombongan III mendarat di Wula Waijilu-Hongga Hillimata.
d)     Rombongan IV mendarat di Mbajiku Padua Kambata Kundurawa.

B.     Sratifikasi Sosial Di Sumba
Dalam masyarakat sumba ada satu hal yang yang menarik yaitu adanya klasifikasi sosial secara vertikal yang masih bertahan sampai sekarang. Sistem ini dikenal dengan adanya maramba (tuan) dan ata (hamba). Meskipiun zaman semakin modern  sistem ini masih sangat sulit dirubah karena sudah turun temurun. Berdasarkan cerita yang didapatkan bahwa adanya hamba (ata) sudah merupakan perjanjian dan sumpah adat antar suku dan antar kampung.
1.      Lahirnya Maramba Dan Ata
Menurut penuturan yang diturunkan dari generasi ke generasi orang sumba mengakui bahwa leluhur mereka adalah Umbu Walu Mandoku dan Rambu Humba. Dari pasangan inlah yang melahirkan suku-suku yang menetap di Sumba sekarang ini.
Dari cerita tersebut dapat kita ketahui bahwa pada awalnya dalam masyarakat sumba tidak dikenal adanya maramba dan ata. Dengan waktu yang terus berjalan penduduk makin banyak. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka harus menyebar mencari tempat yang baru lalu membentuk kampung yang baru pula. Penyebaran inilah yang menyebabkan sering terjadi pertentangan antara kampung dalam memperebutkan lahan atau wilayah yang ingin dikuasai. Akibatnya terjadi perang antar kampung. Perlu dingat bahwa perang antar kampung bukan perang antar suku. Karena dalam satu kampung tidak hanya ada satu suku tetapi lebih dari satu suku.
Pihak yang kalah dalam perang ditawan dan dijadikan hamba (ata) bagi pihak yang menang. Dari sinilah muncul hamba dan klaim sebagai maramba (tuan) dari pihak yang menang. Tidak adanya perlawanan dari ata karena telah disumpah adat. Sekalipun ada yang melawan akan dibunuh baik secara langsung dengan nimbu (tombak) atau kabela (parang) atau secara tidak langsung dengan sebuah ritual (hamaya puhi).
Selain penjelasan di atas ada juga versi lain yang menyatakan lahirnya maramba dan ata di sumba. Apapun versi yang kita dapatkan masih membutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk membuktikan lahirnya maramba dan ata.
2.      Maramba
Maramba (tuan) adalah orang yang memiliki hamba (ata). Maramba mempunya hak prerogatif sehingga apapun yang diperintahkan harus dilakukan oleh ata (hamba).
Dalam masyarakat sumba dikenal sebutan Umbu Nai untuk laki-laki dan Rambu Nai untuk perempuan dan ditambah nama hamba. Misalnya Umbu Nai Kalikit artinya hambanya bernama Kalikit. Sebutan ini berlaku secara umum khususnya di Sumba Timur. Tetapi maramba yang memiliki hamba banyak biasanya memakai sebutan Tamu Umbu tanpa diikuti nama hamba dan umbu saja untuk yang tidak meliliki hamba.
Maramba yang tidak memiliki hamba disebabkan karena hamba adalah milik bersama dengan saudaranya atau tidak mendapatkan jatah hamba dari orang tua (jumlah anak maramba lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anak ata dan biasanya anak terakhir yang tidak mendapatkan jatah kalau hamba kekurangan) atau hamba dari orang tuanya meninggal tanpa mempunyai anak. Akan tetapi, seorang maramba dapat membeli hamba dari kampung lainnya untuk mendapatkan sebutan Umbu Nai.
3.      Ata (Hamba)
Sistem hamba ini sudah berjalan turun temurun. Artinya jika orang tua mereka adalah hamba dari satu keluarga maramba maka anak-anak atau keturunannya akan tetap menjadi hamba bagi tuan mereka. Para ata sudah terikat dengan adat istiadat dan turun temurun  sehingga tidak memiliki ruang gerak untuk menjadi maramba.
            Perlakuan maramba terhadap ata berbeda-beda. Ada yang memperlakukan hamba dengan baik, ada juga yang memperlakukan dengan semena-mena. Pengabdian para hamba tidak pernah mengenal usia. Mereka bekerja untuk maramba setiap hari sejak masih kecil sampai meninggal. Bahkan dulu ketika tuanya meninggal hambanya pun dikubur bersama baik masih hidup ataupun sudah meninggal. Seiring dengan perkembangan hal itu tidak lagi terjadi.
            Tugas utama hamba (ata) adalah memelihara ternak, mengolah kebun, menyiapkan makanan dan sebagai pembawa kalumbut (tempat sirih pinang untuk laki-laki) atau mbola happa (tempat sirih pinang untuk perempuan). Juga melaksanakan perintah lain dri tuannya. Hasil kerja hamba juga dapat meningkatkan status sosial tuanya. Misalnya, semakin banyak hewan yang dipelihara maka derajat sosial tuanya akan semakin tinggi.
4.      Hamba (Ata) Dalam Sistem Perkawinan
Ata (hamba) juga berperan dalam perkawinan orang sumba. Peran hamba sering dikenal dengan istilah ata ngandi (hamba yang dibawa). Ata ngandi adalah seorang perempuan yang ditunjuk oleh maramba untuk menjadi hamba khusus bagi anak perempuanya.  Ata ngandi (hamba yang dibawa) merupakan hamba yang dibawa oleh seorang wanita kalangan maramba (Rambu Nai) ketika dipinang oleh seorang laki-laki dari derajat maramba yang sama. Adanya atau tidak adanya ata ngandi (hamba yang dibawa) menunjukkan status sosial dari istri seorang maramba.
Dari klasifikasi secara vertikal tersebut diatas bertentangan dengan sumber-sumber yang lain yang mengklasifikasikan orang sumba.  Salah satunya adalah http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sumba yang memuat : Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), orang merdeka pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya.
Klasifikasi tersebut sudah sedikit menggeser pengertian maramba yang sesungguhnya yaitu yang memiliki hamba bukan yang menguasai suatu  kampung atau beberapa kampung. Sebelum pejajahan datang suatu kampung tidak ada pemerintahan tunggal tetapi pemerintah secara bersama-sama oleh maramba yang ada di kampung itu. Juga diperjelas oleh  Woha (2008:47) : ternyata pemerintahan Hindia Belanda merubah sistem pemerintahan tradisional ini menjadi sistem pemerintahan ala Eropa yaitu sistem kerajaan, sehingga akhirnya dalam kerajaan itu kekuasaan hanya berada di satu tangan yaitu raja.
Klasifikasi itu juga bisa dibenarkan karena merupakan peninggalan penjajah Belanda. Tetapi dalam pelaksanaan sistem itu tidak semua maramba menerimanya.

C.     Sistem Garis Keturunan Yang Di Anut Suku Sumba
Pada orang Sumba nama seorang anak tidak mangikuti nama (fam) dari ayah maupun ibu. Nama secara utuh diambil dari salah satu nama dari keluarga dari ayah atau ibu baik yaitu  kakek atau nenek kandung maupun dari yang lainnya. Sehingga orang Sumba mengenal istilah Boku Tamu atau Apu Tamu. Nama laki-laki berdasarkan Boku Tamu dan perempuan berdasarkan Apu Tamu. Tidak bisa nama anak laki dari Apu Tamu atau sebaliknya. Nama bisa berasal dari suku lain yang masih ada hubungan keluarga. Sehingga nama tidak berpengaruh terhadap suku. Hal senada juga dikatakan oleh Woha (2008:3) bahwa : Di Sumba nama orang sama sekali bukan identitas kabihu.
Dalam perkembangannya sekarang sudah bisa mengambil nama depan atau belakang dari ayah sebagai fam dari anak. Tetapi sistem pemberian nama seperti diatas tidak sepenuhnya hilang. Anak bisa memiliki dua nama. Nama dengan fam ayah digunakan sebagai nama formal atau nama yang digunakan saat pembaptisan dan penulisan ijazah. Sedangkan nama lahir dari boku tamu (laki-laki) atau apu tamu (perempuan) tetap digunakan sebagai nama panggilan untuk dirumah.
Landasan dikatan bahwa suku sumba menganut patrilineal atau garis keturunan ayah  adalah ketika seorang anak hendak diketahui asal usulnya yang ditanyakan adalah siapa nama ayah atau kakeknya bukan siapa nama ibu atau neneknya.




DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2001. Budaya Sumba http://waingapoe.wordpress,com/2011/01/12/budaya-sumba/
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sumba

Woha,U.P.2008. Sejarah Pemerintahan di Pulau Sumba. Undana press. Kupang.

No comments:

Post a Comment