A. Sekilas Asal-Usul Orang Sumba
Berdasarkan
cerita-cerita dari generasi ke generasi menyatakan bahwa orang sumba berasal
dari Malaka Tana Bara (semenanjung Malaka)
berlayar ke Sumba melalui Hapa riu-Ndua Riu, Hapa Njawa-Ndua Njawa,
Rukuhu-Mbali, Ndima –Makaharu, Endi-Ambarai, Enda-Ndau, Haba—Rai Njua dan
terakhir mendarat di Haharu Malai Kataka Lindi Watu. Hal ini juga sejalan
dengan asal usul bangsa indonesia pada umumnya.
Menurut
Wohangara dan Ratoebandjoe dalam Woha (2008:40) menyatakan bahwa: pendaratan
para leluhur itu diatur strategi seakan-akan mau melakukan pengepungan terhadap
tana Humba sebagai berikut:
a) Rombongan I mendarat di Haharu Malai Kataka
Linndi Watu.
b) Rombongan II mendarat di La Panda Wai
Mananga Bokulu.
c) Rombongan III mendarat di Wula Waijilu-Hongga
Hillimata.
d) Rombongan IV mendarat di Mbajiku Padua
Kambata Kundurawa.
B. Sratifikasi Sosial Di Sumba
Dalam
masyarakat sumba ada satu hal yang yang menarik yaitu adanya klasifikasi sosial
secara vertikal yang masih bertahan sampai sekarang. Sistem ini dikenal dengan
adanya maramba (tuan) dan ata (hamba). Meskipiun zaman semakin modern sistem ini masih sangat sulit dirubah karena
sudah turun temurun. Berdasarkan cerita yang didapatkan bahwa adanya hamba
(ata) sudah merupakan perjanjian dan sumpah adat antar suku dan antar kampung.
1. Lahirnya Maramba Dan Ata
Menurut
penuturan yang diturunkan dari generasi ke generasi orang sumba mengakui bahwa
leluhur mereka adalah Umbu Walu Mandoku dan Rambu Humba. Dari pasangan inlah
yang melahirkan suku-suku yang menetap di Sumba sekarang ini.
Dari
cerita tersebut dapat kita ketahui bahwa pada awalnya dalam masyarakat sumba
tidak dikenal adanya maramba dan ata. Dengan waktu yang terus berjalan
penduduk makin banyak. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka harus menyebar
mencari tempat yang baru lalu membentuk kampung yang baru pula. Penyebaran
inilah yang menyebabkan sering terjadi pertentangan antara kampung dalam
memperebutkan lahan atau wilayah yang ingin dikuasai. Akibatnya terjadi perang
antar kampung. Perlu dingat bahwa perang antar kampung bukan perang antar suku.
Karena dalam satu kampung tidak hanya ada satu suku tetapi lebih dari satu
suku.
Pihak
yang kalah dalam perang ditawan dan dijadikan hamba (ata) bagi pihak yang
menang. Dari sinilah muncul hamba dan klaim sebagai maramba (tuan) dari pihak
yang menang. Tidak adanya perlawanan dari ata karena telah disumpah adat.
Sekalipun ada yang melawan akan dibunuh baik secara langsung dengan nimbu
(tombak) atau kabela (parang) atau secara tidak langsung dengan sebuah ritual
(hamaya puhi).
Selain
penjelasan di atas ada juga versi lain yang menyatakan lahirnya maramba dan ata
di sumba. Apapun versi yang kita dapatkan masih membutuhkan penelitian yang
lebih lanjut untuk membuktikan lahirnya maramba dan ata.
2. Maramba
Maramba
(tuan) adalah orang yang memiliki hamba (ata). Maramba mempunya hak prerogatif
sehingga apapun yang diperintahkan harus dilakukan oleh ata (hamba).
Dalam
masyarakat sumba dikenal sebutan Umbu Nai untuk laki-laki dan Rambu Nai untuk
perempuan dan ditambah nama hamba. Misalnya Umbu Nai Kalikit artinya hambanya
bernama Kalikit. Sebutan ini berlaku secara umum khususnya di Sumba Timur.
Tetapi maramba yang memiliki hamba banyak biasanya memakai sebutan Tamu Umbu
tanpa diikuti nama hamba dan umbu saja untuk yang tidak meliliki hamba.
Maramba
yang tidak memiliki hamba disebabkan karena hamba adalah milik bersama dengan
saudaranya atau tidak mendapatkan jatah hamba dari orang tua (jumlah anak
maramba lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anak ata dan biasanya anak
terakhir yang tidak mendapatkan jatah kalau hamba kekurangan) atau hamba dari
orang tuanya meninggal tanpa mempunyai anak. Akan tetapi, seorang maramba dapat
membeli hamba dari kampung lainnya untuk mendapatkan sebutan Umbu Nai.
3. Ata (Hamba)
Sistem
hamba ini sudah berjalan turun temurun. Artinya jika orang tua mereka adalah
hamba dari satu keluarga maramba maka anak-anak atau keturunannya akan tetap
menjadi hamba bagi tuan mereka. Para ata sudah terikat dengan adat istiadat dan
turun temurun sehingga tidak memiliki
ruang gerak untuk menjadi maramba.
Perlakuan maramba terhadap ata
berbeda-beda. Ada yang memperlakukan hamba dengan baik, ada juga yang
memperlakukan dengan semena-mena. Pengabdian para hamba tidak pernah mengenal
usia. Mereka bekerja untuk maramba setiap hari sejak masih kecil sampai
meninggal. Bahkan dulu ketika tuanya meninggal hambanya pun dikubur bersama
baik masih hidup ataupun sudah meninggal. Seiring dengan perkembangan hal itu
tidak lagi terjadi.
Tugas utama hamba (ata) adalah
memelihara ternak, mengolah kebun, menyiapkan makanan dan sebagai pembawa
kalumbut (tempat sirih pinang untuk laki-laki) atau mbola happa (tempat sirih
pinang untuk perempuan). Juga melaksanakan perintah lain dri tuannya. Hasil
kerja hamba juga dapat meningkatkan status sosial tuanya. Misalnya, semakin
banyak hewan yang dipelihara maka derajat sosial tuanya akan semakin tinggi.
4. Hamba (Ata) Dalam Sistem Perkawinan
Ata
(hamba) juga berperan dalam perkawinan orang sumba. Peran hamba sering dikenal
dengan istilah ata ngandi (hamba yang dibawa). Ata ngandi adalah seorang
perempuan yang ditunjuk oleh maramba untuk menjadi hamba khusus bagi anak
perempuanya. Ata ngandi (hamba yang
dibawa) merupakan hamba yang dibawa oleh seorang wanita kalangan maramba (Rambu
Nai) ketika dipinang oleh seorang laki-laki dari derajat maramba yang sama.
Adanya atau tidak adanya ata ngandi (hamba yang dibawa) menunjukkan status
sosial dari istri seorang maramba.
Dari
klasifikasi secara vertikal tersebut diatas bertentangan dengan sumber-sumber
yang lain yang mengklasifikasikan orang sumba.
Salah satunya adalah http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sumba yang memuat
: Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), orang merdeka
pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak
setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada
tata rias dan busananya.
Klasifikasi
tersebut sudah sedikit menggeser pengertian maramba yang sesungguhnya yaitu
yang memiliki hamba bukan yang menguasai suatu
kampung atau beberapa kampung. Sebelum pejajahan datang suatu kampung
tidak ada pemerintahan tunggal tetapi pemerintah secara bersama-sama oleh
maramba yang ada di kampung itu. Juga diperjelas oleh Woha (2008:47) : ternyata pemerintahan Hindia
Belanda merubah sistem pemerintahan tradisional ini menjadi sistem pemerintahan
ala Eropa yaitu sistem kerajaan, sehingga akhirnya dalam kerajaan itu kekuasaan
hanya berada di satu tangan yaitu raja.
Klasifikasi
itu juga bisa dibenarkan karena merupakan peninggalan penjajah Belanda. Tetapi
dalam pelaksanaan sistem itu tidak semua maramba menerimanya.
C. Sistem Garis Keturunan Yang Di Anut Suku
Sumba
Pada
orang Sumba nama seorang anak tidak mangikuti nama (fam) dari ayah maupun ibu.
Nama secara utuh diambil dari salah satu nama dari keluarga dari ayah atau ibu
baik yaitu kakek atau nenek kandung
maupun dari yang lainnya. Sehingga orang Sumba mengenal istilah Boku Tamu atau
Apu Tamu. Nama laki-laki berdasarkan Boku Tamu dan perempuan berdasarkan Apu
Tamu. Tidak bisa nama anak laki dari Apu Tamu atau sebaliknya. Nama bisa
berasal dari suku lain yang masih ada hubungan keluarga. Sehingga nama tidak
berpengaruh terhadap suku. Hal senada juga dikatakan oleh Woha (2008:3) bahwa :
Di Sumba nama orang sama sekali bukan identitas kabihu.
Dalam
perkembangannya sekarang sudah bisa mengambil nama depan atau belakang dari
ayah sebagai fam dari anak. Tetapi sistem pemberian nama seperti diatas tidak
sepenuhnya hilang. Anak bisa memiliki dua nama. Nama dengan fam ayah digunakan
sebagai nama formal atau nama yang digunakan saat pembaptisan dan penulisan
ijazah. Sedangkan nama lahir dari boku tamu (laki-laki) atau apu tamu (perempuan)
tetap digunakan sebagai nama panggilan untuk dirumah.
Landasan
dikatan bahwa suku sumba menganut patrilineal atau garis keturunan ayah adalah ketika seorang anak hendak diketahui
asal usulnya yang ditanyakan adalah siapa nama ayah atau kakeknya bukan siapa
nama ibu atau neneknya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2001. Budaya
Sumba http://waingapoe.wordpress,com/2011/01/12/budaya-sumba/
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sumba
Woha,U.P.2008. Sejarah
Pemerintahan di Pulau Sumba. Undana press. Kupang.
No comments:
Post a Comment