Lona
Kaka dan Lona Rara adalah dua orang kakak-beradik yang tinggal di Desa
Bukambero, Kodi, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Di mana pun
pergi, kedua kakak-beradik tersebut senantiasa selalu bersama dan saling membantu.
Pada suatu hari, sang Adik, Lona Rara, sangat marah kepada kakaknya, sehingga
berniat untuk menghilangkan nyawanya. Mengapa Lona Rara sangat marah kepada
kakaknya? Berhasilkah ia menghabisi nyawa kakaknya? Ikuti kisahnya dalam cerita
Lona Kaka dan Lona Rara berikut ini!
* * *
Alkisah,
di Desa Bukambero, Kodi, Sumba Barat, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua
orang anak gadisnya. Yang sulung bernama Lona Kaka, sedangkan si bungsu bernama
Lona Rara. Kedua kakak-beradik tersebut senantiasa mendapat perlakuan yang sama
dari orang tua mereka. Namun, Lona Kaka selalu iri hati jika Lona Rara meraih
sebuah keberhasilan. Ia pun selalu berusaha untuk mencelakai adiknya itu jika
memperoleh keberhasilan.
Pada
suatu hari, ketika Lona Rara mendapat hadiah dendeng istimewa dari orang tua
mereka karena berhasil memenangkan lomba menumbuk padi, Lona Kaka bermaksud
untuk merampas dendeng itu dari tangan adiknya. Untuk itu, ia membujuk adiknya
agar mau menemaninya mengambil air di sungai. Ia pun menyuruh adiknya untuk
berjalan di depannya. Dengan begitu, ia akan lebih mudah mengambil dendeng itu
tanpa sepengetahuan adiknya.
“Adikku!
Maukah kamu menemani Kakak mengambil air di sungai?” bujuk Lona Kaka.
“Baiklah,
Kak!” jawab Lona Rara menuruti bujukan kakaknya.
Keduanya
pun berjalan menuju ke sungai sambil memikul dua buah wadah air yang terbuat
dari bambu. Lona Rara berjalan di depan, sedangkan Lona Kakak mengikutinya dari
belakang. Tanpa curiga sedikit pun, Lona Rara menyimpan dendengnya di wadah
airnya yang belakang. Beberapa kali Lona Kaka berusaha untuk mengambil dendeng
itu, namun tidak berhasil karena selalu ketahuan Lona Rara. Meski begitu, Lona
Kaka tidak kehabisan akal. Setibanya di sungai, ia segera turun ke sungai
mendahului adiknya untuk mengambil air. Setelah mengisi wadah airnya hingga
penuh, ia kembali naik ke darat dan menyandarkan wadah airnya pada sebuah
batang pohon.
“Adikku,
Kakak sudah selesai. Kini giliranmu untuk mengisi wadah airmu. Sini Kakak bantu
membawakan dendengmu agar kamu dapat mengambil air dengan leluasa!” ujar Lona
Kaka.
Lona
Rara pun menyambut baik tawaran kakaknya. Setelah menitipkan dendeng miliknya
kepada Lona Kaka, ia segera turun ke sungai untuk mengambil air. Namun, baru
mengisi setengah wadah airnya, tiba-tiba ia mendengar kakaknya berteriak.
“Rara...!
Rara..! Dendengmu dicuri dan dibawa lari anjing!” teriak Lona Kaka seraya
mengejar anjing itu.
Rupanya,
Lona Kaka sengaja memberikan dendeng milik adiknya ke anjing itu, lalu
berpura-pura mengejarnya. Lona Rara yang mendengar teriakan kakaknya segera
naik ke darat dan membiarkan tempat airnya tergeletak di pinggir sungai.
Melihat kakaknya mengejar anjing itu, ia pun turut mengejar hingga ke tengah
hutan. Tanpa disadarinya, ternyata kakaknya telah pergi meninggalkannya.
Sementara ia terus menyusuri hutan lebat itu hingga hari menjelang malam, namun
ia tidak menemukan anjing yang membawa dendengnya. Saat akan kembali ke
rumahnya, ia tersesat. Ia berjalan menyusuri hutan itu mengikuti ke mana arah
kakinya melangkah hingga akhirnya menemukan sebuah sungai dan memutuskan untuk
beristirahat. Ia duduk di atas sebuah batu besar di tepi sungai sambil
bernyanyi mengungkapkan kekesalannya terhadap tindakan kakaknya.
Ou kagu pama nowo ragu
Pai balimu lolokingga
neghe
Mu gaiga zauwa kako
kania
Ou Gela wuamaroto padua
pogawa atenggu
Gaika ku bali wainya
Ou kakakku yang kucinta
Mengapa kau membuat aku
begini
Membiarkan aku jalan
sendiri
Ou Gela Wuamaroto
berilah aku kedamaian
Tuntunlah aku kembali
ke rumah
Usai
bernyanyi, Lona Rara membuka pakaiannya yang sudah kotor lalu mencucinya dan
mandi. Saat sedang asyik mandi, tiba-tiba ia melihat sebatang pohon jeruk yang
berbuah lebat tumbuh di tepi sungai. Setelah melihat di sekelilingnya dan tidak
melihat adanya orang lain di sekitar itu, ia segera memetik satu buah jeruk
untuk dijadikan pewangi tubuh. Betapa terkejutnya ia ketika membelah buah jeruk
itu, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan dan gagah di hadapannya. Ia pun
langsung menjerit karena ia masih dalam keadaan tanpa busana. Ia sangat malu,
karena pemuda itu telah melihat bagian tubuhnya yang selama ini ditutupinya.
Menyadari hal itu, dengan kesaktiannya, pemuda tampan itu segera memberikan
sebuah kain tenun Sumba yang indah kepada Lona Rara. Lona Rara pun segera
memakai kain tenun itu untuk menutupi tubuhnya.
“Hai,
pemuda tampan! Kenapa engkau tiba-tiba muncul dari dalam buah jeruk itu?” tanya
Lona Rara dengan malu-malu.
“Maaf,
Putri! Bukankah Putri sendiri yang meminta bantuan kepadaku?” jawab pemuda itu
sambil menunduk untuk memberi hormat di hadapan Lona Rara.
“Siapa
sebenarnya engkau ini?” Lona Rara kembali bertanya.
“Saya
adalah Gela Wuamaroto seperti yang Putri dendangkan dalam lagu itu. Saya datang
untuk mengantar Putri pulang ke rumah dan memberikan ketenteraman kepada
Putri,” ujar pemuda tampan yang mengaku bernama Gela Wuamaroto.
Hati
Lona Rara menjadi senang bercampur heran, karena tidak menyangka nyanyiannya
telah menjadi kenyataan. Hari pun sudah mulai gelap. Gela Wuamaroto mengajak
Lona Rara mencari tempat beristirahat. Setelah menemukan sebuah gua yang cukup
luas, Gela Wuamaroto segera membuat api unggun dan menangkap seekor ayam hutan
untuk makan malam. Usai makan, mereka pun langsung tertidur pulas.
Keesokan
harinya, Lona Rara sangat terkejut, karena didekatnya telah tersedia ayam
panggang.
“Hai,
kenapa masih ada ayam panggang di sini? Bukankah ayam panggang yang tadi malam
sudah habis?” gumam Lona Rara.
Melihat
Lona Rara terbangun, Gela Wuamaroto yang sedang berdiri di depan pintu gua
segera menghampirinya.
“Maaf
Putri! Saya yang menyediakan ayam panggang itu untuk sarapan kita berdua,” ujar
Gela Wuamaroto sambil tersenyum.
Lona
Rara dan Gela Wuamaroto pun segera menyantap ayam panggang itu. Setelah itu,
mereka saling berkenalan, saling jatuh cinta, dan akhirnya mereka pun menikah.
Karena asyik dimabuk cinta, Lona Rara menjadi lupa untuk kembali ke rumahnya.
Demikian pula, Gela Wuamaroto, ia lupa untuk mengantar pulang Lona Rara.
Sepasang pengantin baru itu keasyikan menikmati hari-hari yang indah bersama di
tengah hutan tersebut, sehingga tak terasa sudah satu bulan mereka hidup
bersama.
Suatu
hari, Lona Rara tiba-tiba teringat kepada keluarganya. Ada kerinduan di hatinya
ingin segera pulang dan bertemu dengan mereka.
“Kanda!
Kapan Kanda akan mengantar Dinda menemui keluarga Dinda?” tanya Lona Rara.
“Besok,
Dinda,” jawab Gela Wuamaroto.
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali, Lona Rara dan suaminya bersiap-siap pulang ke
rumahnya. Sebelum berangkat, Gela Wuamaroto memberikan pakaian tenun Sumba yang
sangat indah kepada Lona Rara untuk dihadiahkan kepada keluarganya. Setelah
menempuh perjalanan selama setengah hari, sampailah mereka di Desa Bukambaro.
Saat Lona Rara memasuki desa, seluruh warga terheran-heran melihat
kedatangannya. Apalagi ia datang bersama dengan seorang pemuda yang gagah dan
tampan. Sambil tersenyum-senyum, Lona Rara berjalan di samping suaminya menuju
ke rumahnya. Saat tiba di halaman rumah, ia melihat rumahnya tampak sepi dan
pintu rumahnya tertutup rapat.
“Ayah...Ibu...!
Rara pulang!” teriak Lona Rara dengan perasaan gembira.
Berkali-kali
Lona Rara berteriak, namun tak ada jawaban. Beberapa saat kemudian, barulah
pintu rumahnya terbuka pelan-pelan. Saat pintu terbuka, tampaklah kakaknya,
Lona Kaka, sedang membuka pintu dan berdiri di depan pintu dengan wajah
memerah. Ia seakan tidak percaya bahwa adiknya masih hidup. Ia pun langsung
memeluk Lona Rara.
“Maafkan
aku, Adikku! Kakak telah meninggalkanmu seorang diri di tengah hutan,” ucap
Lona Kaka.
“Sudahlah,
Kak! Yang penting Adik selamat dan bisa kembali berkumpul bersama kalian,”
bujuk Lona Rara.
“O
iya, Kak! Ayah, Ibu ke mana? Kenapa mereka tidak kelihatan?” tanya Lona Rara
heran.
Mendengar
pertanyaan itu, Lona Kaka kembali memeluk adiknya dengan erat sambil meneteskan
air mata.
“Adikku!
Ayah dan Ibu sudah tiada. Mereka telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya,”
jawab Lona Kaka dengan sedih.
“Apa
yang terjadi dengan Ayah dan Ibu, Kak?” desak Lona Rara.
Lona
Kaka pun menceritakan musibah yang telah menimpa kedua orang tua mereka.
“Sebulan
yang lalu, Ayah dan Ibu mendapat celaka saat mencari Adik di tengah hutan.
Seorang warga menemukan mereka di tengah hutan dalam keadaan terluka parah dan
tidak bernyawa lagi akibat digigit binatang buas,” jelas Lona Kaka.
Mendengar
keterangan itu, Lona Rara pun tidak sanggup menahan air mata. Ia menangis
tersedu-sedu meratapi kepergian Ayah dan Ibu yang sangat dicintainya. Sejenak,
suasana di depan rumah yang sederhana itu pun tiba-tiba menjadi hening.
Beberapa saat kemudian, Lona Rara meminta kepada kakaknya agar mengantarnya ke tempat
pemakaman kedua orang tua mereka. Sesampainya di depan kuburan kedua orang yang
dicintainya itu, Lona Rara kembali menangis tersedu-sedu menyesali semua
peristiwa yang telah terjadi.
“Sudahlah,
Dinda! Semuanya sudah diatur oleh Yang Mahakuasa. Ayo kita kembali ke rumah!”
bujuk Gela Wuamaroto.
Lona
Rara bersama suami dan kakaknya pun kembali ke rumah. Beberapa hari kemudian,
setelah kesedihannya hilang, Lona Rara menceritakan semua peristiwa yang
dialaminya ketika tersesat di hutan kepada kakaknya. Mendengar cerita itu,
timbullah keinginan Lona Kaka untuk pergi ke tempat di mana adiknya bertemu
dengan Gela Wuamarota, dengan harapan dirinya pun akan bernasib sama seperti
adiknya.
Keesokan
harinya, secara diam-diam, Lona Kaka pergi sendirian ke tempat itu. Sebelum
mandi, ia memetik satu buah jeruk yang sudah menguning. Begitu ia membelah
jeruk itu, bukannya pemuda tampan yang muncul, melainkan seorang lelaki tua
berjenggot putih. Ia pun langsung menjerit ketakutan dan berlari meninggalkan
tempat itu. Dalam hatinya tersimpan rasa penyesalan yang begitu mendalam karena
tidak memetik buah jeruk yang masih muda.
Sesampainya
di rumah, Lona Kaka langsung duduk termenung di samping rumahnya. Dalam
ketermenungannya, tiba-tiba muncul dalam pikirannya ingin merebut suami
adiknya. Ia tinggal menunggu waktu yang paling tepat untuk menjalankan niat
busuknya itu.
Pada
suatu malam, Gela Wuamaroto meminta izin kepada Lona Rara untuk pergi berdagang
bersama beberapa warga desa lainnya ke negeri seberang.
“Dinda!
Kanda ingin berdagang ke negeri seberang. Barangkali Kanda harus pergi dalam
waktu yang cukup lama. Apakah Dinda bersedia mengizinkan Kanda?” bujuk Gela
Wuamaroto.
“Baiklah,
Kanda! Dinda mengizinkan. Tapi jangan lupa mampir ke rumah paman untuk
memberinya oleh-oleh ketika kembali nanti,” ujar Lona Rara tersenyum.
“Baiklah,
Dinda!” jawab Gela Wuamaroto sambil menatap wajah istrinya dengan penuh cinta.
Keesokan
harinya, berangkatlah Gela Wuamaroto ke negeri seberang bersama beberapa warga
desa lainnya. Seminggu setelah kepergian Gela Wuamaroto, Lona Kaka pun mulai
menyusun siasat untuk menghilangkan nyawa Lona Rara agar dapat merebut
suaminya. Pada suatu hari, ia mengajak adiknya itu mencari kayu bakar di hutan.
Setelah berjalan cukup jauh ke tengah hutan, sampailah mereka pada sebuah
jurang yang cukup dalam.
“Adikku!
Kita beristirahat di sini dulu. Kakak capek berjalan jauh,” ujar Lona Kaka.
Lona
Kaka dan adiknya pun beristirahat tidak di dekat jurang itu. Setelah rasa lelah
mereka hilang, Lona Kaka memanjat sebuah pohon yang rantingnya telah kering di
tepi jurang yang terjal. Saat berada di atas pohon, ia meminta kepada adiknya
untuk membawakannya parang yang sengaja ditinggalkan di dekat adiknya.
“Aduh,
Adikku! Kakak lupa membawa parang. Tolong ambilkan parang yang ada di dekatmu
itu!” seru Lana Kaka dari atas pohon.
Tanpa
curiga sedikit pun, Lona Rara ikut memanjat pohon untuk memberikan parang itu
kepada kakaknya. Sesampainya di atas pohon, ia menyerahkan parang itu kepada
kakaknya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya berpegangan pada
sebuah ranting yang kering. Begitu mengambil parang itu dari tangan kiri
adiknya, pada saat yang bersamaan, Lona Kaka juga menginjak ranting tempat Lona
Rara berpegangan hingga patah. Tak ayal lagi, Lona Rara pun terjatuh dari atas
pohon dan terguling-guling hingga ke dasar jurang.
Melihat
kejadian itu, Lona Kaka bukannya menolong adiknya, melainkan tersenyum sinis.
“Rasakanlah
itu, Rara! Gela Wuamaroto akan menjadi milikku!” seru Lona Kaka.
Dengan
perasaan puas dan gembira, Lona Kaka turun dari pohon itu dan kemudian pulang
ke rumahnya. Sesampainya di desa, ia berpura-pura sedih meratapi nasib adiknya.
Seluruh warga pun turut berduka cita mendengar berita duka tersebut. Namun,
Lona Kaka tidak mengira jika ternyata adiknya masih hidup. Rupanya, ketika Lona
Rara terjatuh ke jurang itu, tubuhnya tersangkut pada tanaman yang menjalar di
tebing. Berkat usahanya memanjat tebing yang curam itu, ia berhasil sampai ke
puncak tebing dan selamat.
Sesampainya
di atas, Lona Rara pun berteriak-teriak memanggil kakaknya.
“Kakak!
Kamu di mana?” teriaknya.
Beberapa
kali Lona Rara berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari kakaknya. Ia pun
menyadari bahwa ternyata kakaknya telah berniat jahat kepadanya. Akhirnya, ia
pun memutuskan untuk langsung ke rumah pamannya. Setelah dua hari menempuh
perjalanan, sampailah ia di rumah pamannya. Ia pun menceritakan semua peristiwa
yang dialaminya dan rencana jahat sang Kakak kepada pamannya.
Beberapa
hari kemudian, Gela Wuamaroto pun kembali dari rantauannya untuk membawakan
oleh-oleh kepada pamannya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat istrinya berada
di tempat itu.
“Hai,
Dinda! Kenapa Dinda ada di sini?” tanya Gela Wuamaroto dengan heran.
Melihat
suaminya datang, Lona Rara pun langsung memeluknya dengan erat. Kemudian ia
menceritakan semua peristiwa yang telah dialaminya hingga ia bisa berada di
rumah pamannya. Mendengar cerita istrinya, Gela Wuamaroto pun bercerita bahwa
selama ini Lona Kaka selalu merayunya.
“Ketahuilah,
Dinda! Andai kata iman Kanda lemah, tentu Kanda telah jatuh dipelukan kakak
Dinda. Selama ini dia sering merayu Kanda saat Dinda tidak berada di rumah.
Itulah sebabnya, Kanda memutuskan untuk pergi merantau agar Kanda terhindar
dari rayuan manisnya,” ungkap Gela Wuamaroto.
Mendengar
pengakuan suaminya, Lona Rara pun naik pitam. Ia sangat marah terhadap sikap
dan perbuatan kakaknya.
“Huh,
Dinda harus membalas perbuatan Kak Lona Kaka!” seru Lona Rara dengan geramnya. Gela
Wuamaroto pun sejenak. Ia mencoba untuk memahami perasaan istrinya. Setelah
itu, ia mencoba untuk membujuknya agar mengurungkan niatnya membalas dendam.
“Maaf,
Dinda! Kanda tidak bisa berkata apa-apa. Lona Kaka adalah kakak Dinda
satu-satunya. Perbuatannya memang jahat, tapi apakah kita juga harus meniru
perbuatan jahatnya itu?” bujuk Gela Wuamaroto.
“Tidak,
Kanda! Sejak dulu Kak Lona Kaka selalu iri dan dengki terhadap Dinda. Dia sudah
berkali-kali berusaha ingin mencelakai Dinda. Jika hal ini dibiarkan terus,
suatu saat dia akan membunuh Dinda,” ujar Lona Rara.
Mendengar
keteguhan tekad istrinya, Gela Wuamaroto pun tak sanggup berbuat apa-apa.
Akhirnya, pada malam harinya, Lona Rara dan suaminya segera menyusun siasat
untuk membalaskan dendamnya kepada Lona Kaka. Mereka memesan dua buah peti yang
berukir sangat indah. Peti yang satu akan mereka isi dengan perhiasan emas dan
berlian, sedangkan untuk peti yang satunya Lona Rara akan masuk ke dalamnya
sambil membawa sebuah pisau yang runcing dan tajam.
Keesokan
harinya, berangkatlah Gela Wuamaroto ke kampung untuk menemui Lona Kaka. Ia
berangkat dengan menunggang kuda dan membawa serta seekor kuda beban yang
mengangkut kedua peti yang berisi perhiasan dan berisi Lona Rara tersebut.
Sesampainya di kampung halaman istrinya, Gela Wuamaroto segera menuju ke rumah
istrinya. Lona Kaka yang sedang asyik menenun segera bangkit untuk menyambut
kedatangan Gela Wuamaroto.
“Maafkan
aku, Gela Wuamaroto! Aku tidak dapat menjaga Adik Lona Rara,” kata Lona Kakak
sambil berpura-pura menangis.
“Apa
yang terjadi dengannya, Kakak Ipar?” Gela Wuamaroto pun berpura-pura bertanya.
“Lona
Rara meninggal dunia, karena dimakan buaya saat kami sedang mandi di sungai,”
jawab Lona Kaka dengan muka sedih.
Mendengar
keterangan itu, Gela Wuamaroto berpura-pura terkejut dan terlihat murung. Ia
kemudian turun dari kudanya dan menambatkan kedua kudanya pada batang pohon di
depan rumah. Ketika ia menurunkan kedua peti itu dari kudanya, Lona Kaka
menghampirinya.
“Apa
isi peti itu, Gela?” tanya Lona Kaka ingin tahu.
Dengan
wajah murung, Gela Wuamaroto menyuruh Lona Kaka untuk membuka salah satu dari
kedua peti itu. Ketika Lona Kaka membuka peti itu, matanya langsung terbelalat
melihat isi peti yang terdiri dari berbagai macam perhiasan emas dan berlian.
Setelah Lona Kaka melihat isi peti itu, Gela Wuamaroto menyuruhnya untuk
membuka peti yang satunya.
“Kakak
Ipar! Buka dan ambillah semua isi peti yang satu itu! Aku hadiahkan untukmu,”
ujar Gela Wuamaroto.
Dengan
perasaan senang dan gembira, Lona Kaka pun segera membuka peti yang masih
tertutup rapat itu. Begitu peti itu terbuka, tiba-tiba Lona Rara meloncat
keluar dan menikamkan pisaunya berkali-kali ke arah dada kakaknya.
“Terimalah
pembalasanku ini, Kak!” teriak Lona Rara.
Tak
ayal lagi, Lona Kaka pun tewas seketika dengan bersimbah darah. Melihat
kakaknya terkapar di tanah dalam keadaan tidak bernyawa, Lona Rara pun
berteriak histeris. Ia sangat menyesal atas apa yang baru saja dilakukannya.
Namun, apalah guna menyesal kemudian.
Nasi sudah menjadi bubur. Nyawa kakaknya tidak dapat ditolong lagi.
* * *
Demikian
cerita Lona Kaka dan Lona Rara dari daerah Nusantara Tenggara Timur. Cerita di
atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan moral
yang dapat dipetik, yaitu: akibat buruk dari sifat suka iri hati dan pendendam.
Sifat iri hati ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Lona Kaka, sedangkan sifat
pendendam terlihat pada perilaku Lona Rara. Dalam kehidupan orang Melayu, kedua
sifat tersebut harus dijauhi karena dapat mengakibatkan terjadinya
perselisihan, perpecahan, dan bahkan pembunuhan antarsesama saudara. Dikatakan
dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau suka iri mengiri,
sahabat menjauh,
saudara pun lari
kalau tak mau
bermaaf-maafan,
hidup selalu dalam
permusuhan.
Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari Gregor Neonbasu
SVD. “Lona Kaka dan Lona Rara”, dalam Cerita Rakyat Dari Nusa Tenggara Timur.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Tenas Effendy. 1994/1995. “Ejekan” Terhadap
Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Pekanbaru: Proyek
Pengembangan Seni Budaya Riau Bappeda Tingkat I Riau.
Tenas Effendy. 2006. Tunjuk Ajar Melayu.
Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan
Penerbit AdiCita Karya Nusa.
No comments:
Post a Comment