Sunday 15 June 2014

Potrait Pendidikan di waingapu Di SD Katolik Andaluri


Sinar pagi pun membangunkanku dari tidurku. Aku pun langsung bergegas mandi dan bersiap ke sekolah. Saat itu aku berusaia 11 tahun dan aku menginjak kelas 6 SD di sekolah dasar katolik Anda Luri. Saat sebelum bergegas ke sekolah, aku menyiapkan roster (menyiapkan buku pelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran yang akan diterima pada hari itu) dan aku baru menyadari bahwa aku belum mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR). Saat sampai disekolah, tiba saatnya guru kami memeriksa PR yang diberikannya. Banyak teman-teman sekelas yang mengerjakannya dan ada beberapa teman lain termasuk aku yang lupa mengerjakannya. Bu guru pun langsung bertindak terhadap kelalaian kami. Ia mempunyai semboyan Lupa  = Palu, maka kami yang lupa mengerjakan tugas itu pun di pukul dengan mistar panjang dan harus berjanji untuk tidak lupa mengerjakan PR berikutnya. Itu merupakan 1 dari sekian hukuman yang diberikan oleh guru kami saat kami tidak mengindahkan perintahnya atau melakukan sesuatu yang salah di matanya.
Sekolah kami memiliki 12 ruang belajar yang menjadi kelas 1A, 1B sampai dengan kelas 6A dan 6B. Saya merupakan kelas B artinya dari kelas 1 hingga kelas 6 saya selalu berada pada kelas B. Dan hal itu bukan merupakan hal yang baik dalam pikiran ku pasalnya kelas B terdiri dari guru-guru yang berkarakter keras, tegas dan memberi banyak tugas-tugas yang melelahkan. Namun ternyata tidak terlalu bergitu menyeramkan, asalkan kami menjadi murid yang baik, rajin dan patuh dimata guru kami. Sama seperti teman-teman yang lain, saat kegiatan belajar mengajar merupakan saat-saat yang sangat membosankan dan menjengkelkan. Hal yang di tunggu-tunggu hanyalah jam istirahat yaitu jam bermain. Model belajar seperti ini bukan hal yang baru di kebanyakan sekolah, pasalnya semua sekolah menerapkan hal yang sama dan hal ini pun didukung oleh orang tua kami. Banyak teman-teman saya yang menjadi pintar dalam akadeimik namun banyak juga yang malahan sangat membenci sekolah. Di luar sekolah, anak-anak sangat akrab dengan lingkungan tempat tinggalnya. Jadi sebagian karakter anak muncul bukan karena disekolahkan tetapi karena pengaruh  lingkungan disekitar tempat tinggalnya. Nah karakter yang berbeda-beda ini, akan hilang saat berada disekolah. Kami seakan memiliki karakter yang sama. Yang nakal sekalipun akan takluk di hadapan ibu guru. Saat beranjak SMP barulah kami memiliki keberanian untuk bergaul dengan bapak ibu guru dan akrab dengan mereka.


Oleh: Edigius Alberson Sanga Sabon

No comments:

Post a Comment