Sinar pagi
pun membangunkanku dari tidurku. Aku pun langsung bergegas mandi dan bersiap ke
sekolah. Saat itu aku berusaia 11 tahun dan aku menginjak kelas 6 SD di sekolah
dasar katolik Anda Luri. Saat sebelum bergegas ke sekolah, aku menyiapkan
roster (menyiapkan buku pelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran yang akan
diterima pada hari itu) dan aku baru menyadari bahwa aku belum mengerjakan
Pekerjaan Rumah (PR). Saat sampai disekolah, tiba saatnya guru kami memeriksa
PR yang diberikannya. Banyak teman-teman sekelas yang mengerjakannya dan ada beberapa
teman lain termasuk aku yang lupa mengerjakannya. Bu guru pun langsung
bertindak terhadap kelalaian kami. Ia mempunyai semboyan Lupa = Palu, maka kami yang lupa mengerjakan tugas
itu pun di pukul dengan mistar panjang dan harus berjanji untuk tidak lupa
mengerjakan PR berikutnya. Itu merupakan 1 dari sekian hukuman yang diberikan
oleh guru kami saat kami tidak mengindahkan perintahnya atau melakukan sesuatu
yang salah di matanya.
Sekolah
kami memiliki 12 ruang belajar yang menjadi kelas 1A, 1B sampai dengan kelas 6A
dan 6B. Saya merupakan kelas B artinya dari kelas 1 hingga kelas 6 saya selalu
berada pada kelas B. Dan hal itu bukan merupakan hal yang baik dalam pikiran ku
pasalnya kelas B terdiri dari guru-guru yang berkarakter keras, tegas dan
memberi banyak tugas-tugas yang melelahkan. Namun ternyata tidak terlalu
bergitu menyeramkan, asalkan kami menjadi murid yang baik, rajin dan patuh
dimata guru kami. Sama seperti teman-teman yang lain, saat kegiatan belajar
mengajar merupakan saat-saat yang sangat membosankan dan menjengkelkan. Hal
yang di tunggu-tunggu hanyalah jam istirahat yaitu jam bermain. Model belajar
seperti ini bukan hal yang baru di kebanyakan sekolah, pasalnya semua sekolah
menerapkan hal yang sama dan hal ini pun didukung oleh orang tua kami. Banyak
teman-teman saya yang menjadi pintar dalam akadeimik namun banyak juga yang
malahan sangat membenci sekolah. Di luar sekolah, anak-anak sangat akrab dengan
lingkungan tempat tinggalnya. Jadi sebagian karakter anak muncul bukan karena
disekolahkan tetapi karena pengaruh
lingkungan disekitar tempat tinggalnya. Nah karakter yang berbeda-beda
ini, akan hilang saat berada disekolah. Kami seakan memiliki karakter yang
sama. Yang nakal sekalipun akan takluk di hadapan ibu guru. Saat beranjak SMP
barulah kami memiliki keberanian untuk bergaul dengan bapak ibu guru dan akrab
dengan mereka.
No comments:
Post a Comment